"Ellena!" Aku sontak menoleh saat seseorang memanggil namaku. "Hai." Aku menarik salah satu ujung bibir ku pada orang itu. Nycta. Sahabat ku satu-satunya. Dia adalah satu-satunya orang yang bisa kupercaya dan mengerti keadaanku.
"Berhenti lah tersenyum seperti itu len, kau terlihat sangat sinis." Aku tergelak.
"Bukankah aku memang seperti itu?" Dia meninju lenganku. "Berhenti lah, atau kau tak akan mempunyai teman selamanya."
"Bukankah itu baik? Tak perlu memiliki orang-orang munafik dikehidupan?" Nycta tersenyum karena aku tahu akan menjawab seperti itu.
"Bagaimana kau di kelas?" Aku tersenyum miring padanya. Sarkastik. "Kau tahu persis bagaimana aku di mana pun nyc." Dia menahan cengirannya. "Yah kau tahu aku ingin kau menjadi lebih baik."Aku mengabaikan ucapannya dan pergi ke kantin sekolah yang dipenuhi oleh siswa-siswa dengan berbagai macam kegiatan. Ada yang makan, ada yang hanya sekedar mengobrol dengan temannya, mengerjakan tugas, atau berpacaran. Aku menatap orang yang melakukan kegiatan terakhir dengan tatapan jijik.
Hey aku normal.
Tapi ini belum waktunya bukan? Bahkan aku masih mengisi bensin motor ku dengan uang orang tua ku.
Cih
Apa yang mereka pikirkan? Kebahagiaan? Maksudnya ditinggalkan jika mereka sudah menemukan yang baru?
Aku melahap makanan ku dengan Nycta di sampingku. Aku menatap sinis pasangan yang ada di hadapanku. "Berhenti menatap orang seperti itu len." Ucapnya. Aku mendorong piring ku yang masih menyisakan makanan. "Aku mual melihatnya. Nafsu makan ku hilang." Nycta tergelak disamping ku. "Oh ayo lah len, bukankah kau normal?"
Tentu saja aku normal
"Lihat saja mereka tidak akan bertahan sampai akhir semester nyc. Percaya padaku." Dia melanjutkan makan nya dan tidak mendengarku. Aku mendengus. Banyak orang memuji ku dan berkata aku harus berhenti bersikap menyebalkan dan menatap orang dengan pandangan mengintimidasi. Kata mereka aku cantik.
Cih
Aku tak peduli apa yang ada di pikiran mereka. Aku hanya ingin sukses dan membahagiakan orang tua ku.
"Ellena." Nycta menyenggol lenganku. Aku bergumam. "Setelah kita lulus dari sini kau akan kuliah dimana?"
Pertanyaan ini lagi.
Aku diam sejenak. Berfikir. Sempat terlintas di bayanganku aku ingin menjadi dokter atau ahli biologi misalnya? Mengingat aku mempunyai daya hafal yang kuat. Tp bukankah itu membosankan? Aku sempat ingin menjadi psikolog juga. Namun aku tak dapat berinteraksi baik dengan orang. Entahlah aku tak tahu apa yang harus aku lakukan sehabis ini.
Nycta meninju lenganku lagi. "Hey. Kau bengong." Dan yah itu benar. "Aku... aku tak tahu akan kemana sehabis ini nyc. Kalau kau? Mungkin kita bisa satu kuliah lagi?" Nycta tersenyum. "Ku pikir aku akan mengambil jurnalistik." Oh ya. Nycta sangat gemar membaca buku. "Bagaimana kalau kau mengambil itu juga? Kita dapat terus bersama bukan? Lagipula kau juga suka membaca buku." Tawarnya.
"Aku tak tahu. Terdengar membosankan nyc." Nycta cemberut. Kemudian aku tergelak.
"Kau harus cepat menentukan len. Kau mempunyai nilai rapot yang baik dan kau menguasai banyak bahasa. Tentu akan banyak universitas mengejarmu." Aku mengangguk pelan. "Ayee ayee capten!"
Kemudian kami meninggalkan kantin dan pergi ke rumah masing-masing.
***
Keesokannya aku terbangun dengan tidak sengaja. Aku melirik jam di dinding kamarku yanh ditutupi wallpaper menara eiffel. Feminim sekali ya? Tapi aku memang bercita-cita ingin ke sana. Paris. Kota indah dengan menara eiffelnya yang menjadi icon Paris di mata dunia. Masih jam 3 pagi. Bahkan bukan pagi, ini masih terlalu awal untuk dibilang pagi.
Aku mencoba menutup mataku kembali. Tak bisa. Akhirnya aku membaca buku yang baru saja kubeli kemarin bersama Nycta. Buku ini bergenre fantasi. Aku menyukai fantasi karena membuat imajinasiku berkembang.
Aku terus membaca sampai akhirnya mengantuk dan tertidur dengan posisi masih memegang buku itu.
***
"Panggilan kepada siswi Ellena Dytha. Sekali lagi panggilan kepada siswi Ellena Dytha. Harap menuju ke ruang guru sekarang juga. Terimakasih." Speaker di depan kelas ku menyuarakan pengumuman yang membawa-bawa namaku.
Ada apa ini?
Akhirnya aku menuju ke ruang guru setelah meminta izin ke guru yang sedang mengisi jam belajar dikelasku. Aku berlari kecil untuk menuju kesana.
Aku memasuki ruangan tersebut dan menengok-nengok mencari siapa yang mencariku. Tiba-tiba kurasakan sebuah tangan di pundak ku.
"El." Aku pun menoleh dan mendapati guru biologi ada disana.