Love • 7

1K 160 0
                                    

Mata Seulgi terbuka, menatap langit-langit kamar dengan cemas beberapa saat. Ia lalu menghela nafas lega, itu hanya mimpi. Tapi ia tidak suka dengan mimpinya itu. Seulgi mencoba bangkit untuk bersandar di kepala ranjang dan merasakan sesuatu ditangannya. Ia mengangkat tangan kanannya dari dalam selimut. Seulgi melihat foto Irene yang digenggamnya. Foto yang selalu menemani tidurnya. Ia menghela nafas lagi dan lagi. Seulgi terus menatap wajah itu tanpa bosan untuk beberapa waktu. Seulgi mengingat kembali apa yang dimimpikannya tadi. Ia menyentuh dahinya. Ciuman dan sentuhan itu terasa nyata bukan hanya sekedar bunga tidur. Seulgi menggeleng lemah, mungkin hanya perasaannya karena ia terlalu merindukan Irene.

Seulgi melihat kearah balkon kamar, hari sudah gelap. Ia tertidur hampir seharian dan sudah merasa lebih baik. Dahi Seulgi mengernyit saat melihat satu bungkusan di meja rias. Merasa familiar, Seulgi menyadari sesuatu. Ia mencabut infusan ditangannya dengan cepat dan turun dari ranjang sambil menahan rasa pusing di kepalanya. Jantungnya berdetak gugup. Seulgi tidak berharap banyak namun tetap membuka bungkusan itu. Piyama favorit Jisoo. Irene benar disini.

“Oh, kau sudah bangun Tuan muda Kang—”

“Irene tadi disini ‘kan? Dimana dia sekarang?” tanya Seulgi seketika.

“Eh i-itu, tadi- tapi Nona sudah pergi—”

“Kenapa kau tidak memberi tau aku, Bibi Choi?! Seharusnya kau bangunkan aku.” Seulgi kesal. Bibi Choi hanya diam serba salah. Melihat Irene keluar dari kamar dengan wajah sendu membuatnya tidak berani untuk kembali melarang pergi majikan perempuannya itu.

“Maafkan aku Tuan muda Kang.”

Seulgi mengusap rambutnya kasar, bingung setengah mati. Lisa. Seulgi mengambil ponsel dan langsung menghubunginya. Berharap akan kabar yang baik.

Benar, Lisa tau dimana Irene sekarang. Irene dan Lisa diam-diam bertemu sore tadi. Awalnya Lisa tidak ingin bicara karena sudah berjanji pada Irene untuk tidak mengatakan kepada siapapun tentang keberadaannya termasuk Seulgi.

“Lisa, aku mohon, jangan bercanda denganku sekarang. Katakan dimana dia?” paksa Seulgi tidak sabar. Lisa tidak langsung menjawab, membuat Seulgi menunggu dengan harap-harap cemas. “Lalisa?”

“Dia di bandara, dia bilang akan pergi ke Paris. Penerbangannya jam setengah delapan.” jawab Lisa. Seulgi melihat jam didinding dan dapat merasakan jantungnya berhenti seketika. 7.00 pm. “Seulgi oppa, kau harus cepat atau kali ini kau akan benar-benar menyesal.”

Apa yang terjadi di mimpinya itu menjadi kenyataan. Bagaimana cara Seulgi sampai di bandara. Apa yang mereka bicarakan. Semuanya mengulang sama persis. Membuat Seulgi cemas dan panik untuk yang kedua kalinya.

“Maaf Seulgi, aku harus pergi...” pamit Irene. “Jaga dirimu. Jangan sampai sakit.” tambahnya masih peduli. Irene tidak bisa berhenti peduli kalau itu menyangkut diri Seulgi. Walaupun mereka tidak harus bersama untuk saat ini.

“Jadi kau ingin meninggalkanku juga?” Seulgi menahan tangan Irene. Membuat wanitanya itu kembali menghadapnya. “Kau bilang kau tidak akan meninggalkanku. Kau berjanji.” Seulgi terdengar rapuh saat mengulang kata itu, membuat Irene mengerjap kaget. Seulgi dihadapannya ini sangat berbeda. Seulgi yang mencoba membuka diri kepadanya.

“Lima menit.” pinta Irene dengan segan kemudian pada laki-laki didepan mereka. Laki-laki itu mengangguk tanpa berkomentar sebelum meninggalkan mereka berdua.

“Siapa dia? Kau bersamanya selama ini?” tanya Seulgi risih. Laki-laki itu terlihat sangat penting untuk Irene.

“Kau tidak harus tau.” Irene melepaskan genggaman Seulgi lagi.

“Irene, aku mohon—”

“Aku sangat menginginkanmu, Seul. Aku sangat mencintaimu tapi rasanya sangat sakit disini.” Irene memulai sambil menunjuk dadanya. Matanya kembali nanar. Berhari-hari dalam kesedihan dan kekecewaan sudah lebih dari cukup untuknya. Ia tidak akan menangis seperti anak kecil lagi. “Orang bilang jatuh cinta itu hal yang membahagiakan, kenapa mencintaimu sangat menyakitkan?”

Seulgi terdiam. Ia benar-benar sudah menyakiti Irene sampai seperti ini. Terlambat menyadari.

“Kau tidak tau itu ‘kan? Kau bahkan tidak tau apa warna kesukaanku.” Irene tertawa pahit. “Dan sekarang kau mengatakan semua ini. Kau membuatku bingung...”

“Kalau begitu berikan aku kesempatan. Untuk lebih tau tentang dirimu. Untuk tau apa warna kesukaanmu, makanan kesukaanmu. Semuanya.”

“Aku tidak tau...” Irene menggeleng. “Apa yang akan kau lakukan kalau kau menjadi aku?” suaranya bergetar. Seulgi kembali terdiam. Lidahnya kelu seperti diberi lem. Apa yang akan ia lakukan kalau seseorang yang mencintainya dengan tulus menyia-nyiakannya? Apa ia bisa bertahan seperti Irene?

“Jangan pergi, aku mohon...” Seulgi memohon. Suaranya hampir tidak terdengar. “Aku membutuhkanmu.” Irene menatap Seulgi, mencari kesungguhan di manik matanya yang berkaca-kaca. “Kau boleh membenciku, tapi jangan tinggalkan aku—”

“Dan apa inti dari itu semua?” tanya Irene. Bukankah ujung-ujungnya mereka akan sama-sama merasa sakit? Seulgi kehabisan kata-kata.

Seulgi tercekat, kenyataan yang dua kali lebih pahit dari mimpinya. Lima menit Irene sudah habis. Irene berbalik badan dan melangkah cepat, pergi menjauh dari hadapannya. Seulgi mematung seakan tersesat, hanya bisa menatap Irene dengan nanar. Dunianya berhenti berputar.

... bersambung

Love tip & other stories at
karyakarsa.com/authorka
Thanks 🤓

๑ LOVE BACK ๑ end ๑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang