Antagonis 2

767 233 23
                                    

Antagonis 2

Sebagai antagonis, aku telah melakukan banyak sekali kesalahan. Terutama kepada Icha, anak angkat Om Hendra dan Tante Arwen. Sejak kecil aku sudah membenci Icha setengah mati. Karena ibu kandung Icha adalah orang ketiga dalam rumah tangga Mama dan Papa. Karena ibunya Icha juga, aku harus menjadi anak yatim sejak umur tiga tahun.

Sejak kecil, Mama sudah menanamkan kebencian itu di kepalaku. Segala gerak-gerikku diperintah Mama untuk membuat hidup Icha susah dan tersisihkan di keluarga kami. Aku dituntut untuk jauh lebih unggul dari Icha dalam segala hal. Julukan jenius yang sejak SD disematkan kepadaku adalah bentuk kesempurnaan yang diciptakan Mama. Dan semua itu aku dapatkan tidak mudah. Mama merenggut seluruh kesenanganku agar seluruh waktuku digunakan untuk belajar dan belajar.

Tidak ada yang tahu tentang betapa beratnya aku memenuhi ekspektasi kesempurnaan Mama. Semua orang di rumah hanya melihatku menikmati semaunya. Belajar dan mem-bully Icha, maksudku. Mereka tidak tahu bahwa aku harus menderita sakit kepala hebat dan insomnia karena dituntut untuk terus belajar. Terkadang tiap melihat kekecewaan dan kesedihan Icha, ada rasa bersalah yang menelusup di hati. Namun semua itu selalu tertutupi oleh kebencian yang sangat jauh lebih besar.

"Are you okay?"

Meninggalkan bibir yang sedari tadi menempeli sedotan, aku mendongak. Menatap lekat seorang pria yang duduk di seberangku. Sudut bibirku terangkat.

"Are you okay?" Aku terkekeh hambar. "Gue masih nggak terbiasa sama pertanyaan lo yang satu itu, Ren. Jujur."

Reno mencebikkan bibir, sesuatu yang di masa lalu tidak pernah aku lihat dia lakukan di depanku. "Kita udah damai sebulan lalu, right?"

Aku mengedikkan bahu. "Dan lo berusaha nemuin gue terus." Kuberi dia lirikan datar. "Lo nggak takut gue baper dan jebak lo lagi?"

Reno terkekeh sebelum menyeruput kopinya. "Lebih mending, asalkan lo balik bernyawa lagi."

"Yang di depan lo ini zombie?"

Tawa Reno makin keras. Namun setelahnya dia melayangkan tatapan yang lebih lembut. "Anyway, gue lebih suka Gina yang banyak bicara dan meledak-ledak."

"Gina yang jahat, maksud lo?"

"Seenggaknya dulu dia bisa ketawa." Reno tersenyum tipis. "Lo bisa ngilangin karakter jahat itu dengan tetap pertahanin karakter asli lo."

Sebelah alisku naik. "Memangnya karakter asli gue itu yang mana? Yang angkuh dan pamer kapasitas otak? Yang mendapatkan cowok yang dicintai dengan cara licik? Atau yang punya satu rasa paling dominan yaitu kebencian? Yang punya rasa sayang besar sampai rela dibentuk jadi karakter sesuai mau ibunya?"

Reno kelihatan tercenung. Dia memajukan wajah dan berkata, "Lo udah berubah, Gin."

Bibirku menipis. "The antagonist will still be seen as the antagonist, Reno."

"I'm sorry about it." Suara Reno melemah.

"Gue yang harusnya bilang gitu." Aku menatapnya tanpa kedip. "I'm sorry, for making you be an antagonist."

"Tapi gue jadi salah satu penyumbang terbesar keterpurukan lo."

"Gue nggak terpuruk."

"Yes, you are."

"No, i'm not!"

"Gin,"

"Gue balik, deh."

Reno buru-buru menahan lenganku. "Oke, i'm sorry."

Ya, Reno adalah salah satu antagonis lain dalam hidup Icha. Bedanya jika aku terbentuk sejak kecil dan jadi the real antagonist, Reno justru pernah jadi protagonis. Dia pernah jadi tokoh baik, bahkan sosok yang melindungi dan mencintai Icha. Mereka pernah berpacaran, hingga akhirnya aku datang sebagai orang ketiga dan merebut Reno.

Antagonis (Short Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang