You Lie

41 11 0
                                    


—You Lie

Ravendra berjalan menuju kamar tidurnya setelah membantu Agatha memasak makan malam. Mereka tak mungkin makan bersama.

Ivan makan di meja makan tanpa Ravendra atau Ravendra makan di meja makan dan Ivan pergi, hanya itu hukum yang berlaku mulai saat ini.

Ravendra memandang poster-poster di atas meja dan beberapa tiket audisi yang Royan berikan beberapa hari lalu.

"Oy, Yan? Kenapa?" Ravendra menyapa lewat telepon saat ponselnya berdering.

"Lo kenapa ga ikut audisinya, Ven?!"

"Next time ...."

"Next time gimana, Ven? Lo mau nolak kesempatan berapa kali?!"

Ravendra mengusap wajahnya sambil terus berpikir. Tanpa sadar Ivan berdiri di balik tembok yang menghalangi satu sama lain, ia mendengar pembicaraan Ravendra dan Royan samar-samar.

"Gue mau fokus dulu di rumah ... gue mau fokus buat keluarga gue setelah sekian lama. Next time aja, Yan."

Royan berdecak kesal. "Lo ikut audisi ini, lo bisa dapat pengakuan dan memulai langkah buat raih keinginan lo selama ini, Ven. Orang bisa tahu lo bisa nyanyi, bisa nulis lagu ... lo bisa publikasi karya lo suatu saat nanti kalau ada label rekaman yang tertarik sama lagu tulisan lo."

"Nanti aja, Yan. Gue matiin, ya. Mau istirahat."

Royan terdengar mengumpat sebelum akhirnya Ravendra mengakhiri panggilan. Ia menggulir ponselnya, mencoba meredakan dilema di hatinya.

That's Why You Go Away karya Michael Learns To Rock berputar di ponsel butut yang audionya sudah terganggu. Kemudian Ravendra berjalan ke kamar mandi kamarnya. Ia membuka baju, menyisakan tubuh atasnya tak dilapisi sehelai benang pun.

Ravendra membasuh wajah sambil sesekali melamun memandang dirinya sendiri. Kemudian fokusnya teralih pada stiker bertuliskan 'Love is one big illusion, I should try to forget.'

"Van? Ngapain?" Ravendra terkejut kala melihat Ivan menyentuh beberapa benda di atas mejanya, membaca setiap kertas usang yang ia pakai untuk menulis apa pun.

Ivan tak menjawab, ia kembali memperhatikan setiap sudut, setiap benda yang ada di kamar kakaknya. Semuanya kembali seperti semula, seperti 3 tahun lalu. Namun, tiga tahun lalu tidak ada luka menganga yang masih kentara di dalam hati Ivan seperti sekarang. Tiga tahun lalu juga tidak ada asbak dan lima bungkus rokok berwarna hitam yang semuanya masih berisi lengkap seperti sekarang.

Kini, netra hitam legamnya menangkap bekas luka yang panjang di punggung Ravendra.

"Luka apa?"

Ravendra buru-buru memakai t-shirt hitamnya. "Bukan apa-apa."

"Kenapa lo ga ikut audisinya?"

"Ga ada waktu."

"Bacot. Lo ga punya kegiatan, lo ga sekolah, lo ga punya temen, lo ga punya siapa pun buat lo temuin. Lo pake apa waktu sampe udah ga ada sisa buat raih mimpi lo, hah?" Jauh di lubuk hatinya, Ivan menyayangkan kesempatan yang Ravendra punya. Selalu seperti itu.

Kesempatan untuk menjadi orang hebat setelah papa mengarahkan masa depannya. Sekarang kesempatan untuk menjadi orang populer yang hebat karena lagu tulisannya. Semua itu ia sia-siakan.

"Waktu gue buat lo, Van. Buat mama. Buat kita balik kaya dulu."

Itu.

Kalimat seperti itu yang Ivan tidak pernah mengerti.

If We Didn't MeetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang