1

84 9 1
                                    

"Papa, bagaimana ceritanya Papa bisa jatuh cinta dengan Mama?"

Oh?

Angin berhembus, membawakan tanya yang lebih jauh ke sisi lain. Manik emerald berkilat, penuh dengan kilau murni, menyampaikan penasaran yang tak sempat terjawab oleh siapapun.

Rerumputan pendek bergerak dibelai angin, hamparan luas terasa begitu hangat pada sore hari seperti ini. Sebuah pertanyaan didapatnya, begitu cepat daripada perkiraan. Untuk beberapa detik ke depan, Vyn terhenyak. Terpaku dengan pandangan yang terasa deja vu itu.

"Papa?"

Salah satu sudut bibir terangkat, sang Psikiater merendahkan tubuh; berjongkok di hadapan gadis berambut perak yang berbagi penampilan nyaris serupa dengan seseorang yang pernah menempati hatinya.

Jemari lentik terulur, usapan pada pucak kepala menjadi awal untuk membuka hangat ikatan dua anggota keluarga. Pemilik iris emerald, Ivy, membisu dalam hitungan sepersekian detik. Ada pandangan yang berbeda dari iris emas sang Papa detik itu. Sebuah pandangan yang belum pernah ia lihat selama ini.

"Kau ingin tahu?"

Lembut, kalimat itu terdengar sangat lembut. Hati Ivy seketika berdesir pelan mendengarnya. Benarkah ini Vyn Richter? Sang Papa akan menceritakan apa yang ia minta? Kisah pertemuan dengan sang Mama?

Satu anggukan diterima; Vyn terkekeh kecil.

Astaga, sungguh, ia tidak pernah tahu bahwa waktu bisa berjalan secepat ini. Gadis kecilnya sudah paham akan perasaan serius itu. Dan kini menanyakannya sendiri pada sang Papa. Lucu sekali, penuh rasa penasaran yang sama; persis seperti istrinya.

Rosa.

"Ini adalah kisah cinta pandangan pertama." Vyn menarik kembali jemarinya, "awalnya, aku tidak menyadari bahwa aku menyukai Mamamu. Aku kira, itu hanya sebatas kekaguman belaka. Namun ternyata, cara Mamamu dalam berpikir itu sangat ...,"

Ivy membisu. Emerald kembali menukar pandang dengan emas berkilau. Lihat? Tatapan itu lagi.

"... Indah." Vyn menjeda. "Aku sangat menyukainya, sungguh menyukainya."

Sederhana. Sayangnya, juga sulit dimengerti. Ivy tidak paham hal selain poin penting bahwa Vyn benar-benar jatuh cinta dengan Rosa. Cinta pandangan pertama? Ivy masih terlalu muda untuk paham maksud perasaan sang Papa saat pertama kali mengenal Mamanya

"Papa menyukai Mama karena wajahnya?" Pandangan pertama, tentu tak luput dari rupa tampilan yang pertama kali dilihat. Wajah, bukankah itu adalah hal paling menarik bagi seseorang saat baru bertemu dengan lawan jenis?

Ivy berpikir sependek itu, masih dalam ketidakpahamannya dalam menafsirkan kisah Vyn. Sebagai anak kecil, ia tidak dapat memikirkan kemungkinan lain yang agak jauh. Cinta pandangan pertama dan wajah cantik, dua hal itu bagai korelasi yang cocok untuk menjelaskan bagaimana perasaan Vyn bertemu Rosa di masa lalu.

Tawa kecil mengudara, Vyn menggeleng; Ivy memiringkan kepala.

"Meskipun bisa dibilang begitu, tapi tidak juga."

Bocah kecil semakin bingung. Tidak mengerti, apa yang diucapkan Vyn begitu ambigu.

Sang Psikiater memposisikan tubuh, kini duduk berdampingan dengan si anak di atas padang rumput pendek. Angin kembali berdesir, cahaya jingga perlahan tenggelam dalam tiap detik berlalu. Sore yang singkat, namun Vyn yakin itu cukup untuk dapat menceritakan banyak kisah lamanya yang hampir berdebu dalam kepala; sebuah kisah klasik romansa yang sebagian orang percaya bahwa hal itu hanya terjadi dalam novel. Sebuah kisah yang masih disimpan rapi, bahkan memiliki ruang khusus di hatinya.

Kisahnya.

Ah, tidak.

Ini kisah tentang dia.

"Mau dengar sebuah cerita?"

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To be Continued

HerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang