duabelas

200 43 2
                                    

Chaeyoung menyandarkan punggungnya ke dinding kayu rumah tua ini. Katanya sih rumah lama Jimin.

Bangunan rumahnya terlihat tua dan klasik. Tapi setidaknya rumah ini lebih layak dibanding apartementnya. Hanya kurang terawat saja. Jimin ini kaya tapi kenapa pelit sekali bahkan pada dirinya sendiri.

"Ini dimana?" tanya Chaeyoung.

"Rumahku"

Chaeyoung mendecih, wanita itu sudah tau hanya dengan melihat foto dengan pigura besar yang dipajang di dinding.

"Maksudku kita berada didaerah mana? Rumahmu terletak ditengah hutan begini"

Sebelum menjawab Jimin membersihkan sofa yang akan dia gunakan untuk duduk bersama Chaeyoung. Chaeyoung yang bahkan tanpa disuruh langsung duduk setelah Jimin membersihkan sofanya.

"Ini salah satu rumah lamaku bersama ayah ibu. Kita berada dihutan pinggiran kota"

Chaeyoung mengangguk paham, sudah cukup.

Ada pertanyaan yang lebih penting saat ini.

"Lalu aku ingin bertanya, siapa segerombolan orang berseragam hitam yang mengejarmu semalam?" Chaeyoung juga ingat kalau mereka juga yang membuat kegaduhan saat mereka mengantri ramyeon. Ingat?

Jimin menatap Chaeyoung, haruskah Jimin bercerita?

"Ya Park Jimin lebih baik kau jangan menyimpan rahasia apapun saat kau sudah menyeretku dalam kegaduhan sialanmu ini" kata Chaeyoung yang melihat Jimin meragu saat akan bercerita.

Jimin menyandarkan punggungnya ke sofa. Tidak lupa matanya menerawang keatap rumah seakan mengingat awal mula hal ini bisa terjadi.

"Mereka adalah orang-orang suruhan mafia yang memburu para pembunuh bayaran sepertiku. Karena aku pasti sudah menghabisi salah satu orang penting mereka"

"Mungkin sudah hampir 2 tahun penuh mereka memburuku. Jujur aku tidak tau siapa mereka dan dari mana asal mereka. Yang aku tau mereka adalah musuhku" jelas Jimin.

Chaeyoung paham. Hidup dalam kegelapan seperti Jimin sudah pasti tidak akan bisa menjalani hidupnya tanpa kegaduhan seperti ini. Darah, uang, balas dendam dan pemberontakan adalah makanan sehari-harinya.

"Apa kau tidak merindukan kehidupanmu yang dulu? Saat masih memiliki keluarga?" tanya Chaeyoung pelan.

Jimin tersenyum tipis lalu menoleh dan menatap Chaeyoung, "Apakah aku masih pantas?"

Nafas Chaeyoung sedikit tercekat, wanita itu melihat kekosongan dalam mata Jimin. Apakah Jimin juga sebenarnya ingin keluar dari kegelapan ini?

Chaeyoung bergerak menggenggam tangan Jimin, "Apa yang kau inginkan sekarang?"

Jimin menggeleng, lelaki itu tidak tau apa yang sebenarnya dia inginkan.

"Aku tanya sekali lagi, apa yang sebenarnya hatimu inginkan Jimin?"

Jimin menggigit bibirnya, mencoba membayangkan apa yang sebenarnya lelaki itu inginkan. Chaeyoung yang melihat kegundahan Jimin lantas bergerak mendekat dan menutup mata Jimin dengan tangannya.

"Sekarang tenangkan pikiranmu dan coba tanyakan pada hatimu apa yang kau inginkan"

Jimin menurutinya. Sepersekian detik saat matanya tertutup, tiba-tiba bayangan ayah ibunya yang tersenyum melintas begitu saja.

Senyum hangat yang selalu mengawali harinya dan pelukan sebagai penutup harinya. Memiliki keluarga harmonis untuk menghadapi dunia. Apa Jimin memang merindukan hal itu? Apa Jimin menginginkan hal itu?

Tanpa sadar air mata Jimin menetes. Chaeyoung melepaskan tangannya pada mata Jimin. Jimin masih setia menutup mata.

Chaeyoung akhirnya membawa Jimin ke pelukannya seraya berbisik, "Ayo wujudkan keinginanmu Jimin-ah"

.

.

.

Pagi menjelang siang Chaeyoung habiskan dengan tidur dikamar yang katanya milik Jimin itu. Dirumah ini ada 3 kamar.

Rasanya kaki Chaeyoung kebas karena semalam terlalu lama berlari dan berjalan kaki. Bagaimana dengan Jimin?

Chaeyoung tidak peduli.

Mungkin hampir pukul 1 atau 2 siang Chaeyoung baru keluar dari kamar. Karena lapar.

"Jimin-ah" panggil Chaeyoung saat melihat sekeliling rumah dan kosong.

Chaeyoung berinisiatif pergi ke teras rumah bergaya klasik itu, "Park Jimin" panggil Chaeyoung sekali lagi.

Lama tidak ada jawaban.

"Aku disini" balas Jimin yang datang entah dari mana sambil membawa sebuah keranjang. Berisi buah.

Wah.

"Aku kira kau meninggalkanku" kata Chaeyoung saat Jimin berjalan mendekat.

"Mana mungkin" balas Jimin.

Chaeyoung mengintip isi keranjang Jimin. Beragam buah ada disana.

Mata Chaeyoung berbinar, "Wow dari mana kau dapatkan semua itu? Boleh aku makan?"

"Untukmu" kata Jimin sambil menyerahkan keranjangnya.

"Benarkah?"

Jimin mengangguk, "Tapi cucilah lebih dulu"

Sekarang gantian Chaeyoung yang mengangguk dengan semangat lalu berjalan kedalam rumah sambil membawa keranjang berisi buah.

Jimin tersenyum tipis melihat tingkah Chaeyoung. Semenjak kejadian Jimin menangis dipelukan Chaeyoung entah mengapa membuat lelaki itu mulai memandang Chaeyoung dengan cara yang berbeda.

Lebih hangat? Entahlah, Jimin tidak dapat memastikannya. Tapi yang pasti Jimin merasa seolah sudah terikat dengan Chaeyoung.

Chaeyoung kembali datang ke teras rumah sekedar menghampiri Jimin, "Kenapa masih disini? Melamun?"

Chaeyoung lalu menarik tangan Jimin untuk menyuruhnya masuk, "Melamunlah didalam. Atau makan buah saja. Aku akan mengupaskannya untuk kita berdua"

Akhirnya Jimin memilih makan buah bersama Chaeyoung diruang makan sederhananya.

Jimin merasa bernostalgia. Dulu diruangan ini ada ayah, ibu dan kakak laki-lakinya yang selalu makan malam bersama setelah perburuan mereka dihutan. Mereka menghabiskan waktunya dirumah ini ketika liburan datang.

Jimin lalu mengedipkan matanya yang mulai berkaca-kaca. Jimin sedikit menunduk untuk menghapus air matanya dan saat mendongak lelaki itu mendapati Chaeyoung yang tengah menatapnya sambil menopang dagu.

"Aigoo apa didepanku ini benar-benar pembunuh bayaran yang dikejar para mafia?" kata Chaeyoung meledek.

Jimin hanya diam.

"Jimin-ah" panggil Chaeyoung.

"Dari pada kau terus-terusan menyelami masa lalumu. Meskipun aku tidak melarang karena aku juga kadang melakukannya. Tapi sekarang lebih baik kau rencanakan apa yang harus kita lakukan kedepannya" jelas Chaeyoung.

"Lalu bagaimana denganmu? Apa kau memiliki rencana dimasa depan?" tanya balik Jimin.

"Aku? Tentu. Renacanaku adalah membantumu mewujudkan keinginanmu" jawab Chaeyoung.

Jimin terdiam. Terkadang Jimin masih tidak menyangka dapat bertemu dengan Chaeyoung. Awalnya memang sedikit menganggu tapi hanya dalam waktu singkat Chaeyoung mampu menarik perhatiannya.

"Rencanaku adalah-"

"Stop" kata Chaeyoung tiba-tiba.

Wanita itu melipat kedua tangannya diatas meja, "Jika kita tidak terburu-buru bolehkah kita membahas rencanamu nanti malam?" tanya Chaeyoung dengan senyum lebarnya.

Jimin mengernyitkan dahinya. Mau apa sih sebenarnya Chaeyoung ini.

"Maksudku, aku ingin menikmati lingkungan disini. Aku juga ingin berkeliling sebentar didaerah hutan" jelas Chaeyoung menjawab kebingungan Jimin.

"Tapi sedikit berbahaya jika berkeliling sendiri" kata Jimin.

"Aku juga tidak berpikir akan berkeliling sendiri. Kau kan akan menemaniku"

Jimin tidak bisa menahan senyumnya saat melihat antusiasme dari Chaeyoung.

"Baiklah"

Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang