Bab 27

273 30 21
                                    

Jari-jari itu meremas kuat pada lengan tak berdosa dalam pelukannya. Ji ah terbangun. Ia meringis kesakitan dan hendak berteriak, hingga kondisi pria disampingnya membuatnya terhenyak. "Ya Tuhan, Ki Joon-ssi!" Menepuk-nepuk pipi pria itu pelan. Ji ah berusaha membangunkannya. "Apa yang terjadi? Bangunlah". Dia terlihat cemas saat pria disampingnya masih menutup mata dan bergerak gelisah.

"Jangan, kau tak bisa! Kumohon, jangan". Gumam pria itu sambil terus bergerak gelisah. Kaos santai coklatnya telah basah oleh keringat.

"Ki Joon-ssi, bangun. Sadarlah". Ji ah masih tetap membangunkannnya, hingga mata pria itu terbuka lebar. Ia menyapu semua kamar dengan pandangan nanar. Bak sinar laser -liar membelah setiap sudut ruangan.

"Ji ah-ya". Satu nama yang teringat dibenaknya, kini telah ia suarakan.

"Aku disini, aku disini. Apa kau baik-baik saja?" Nada khawatir terdengar jelas dari bibir Ji ah. Ia menyapu lembut rambut pria disampingnya itu, seolah menenangkan.

Ki Joon kembali. Pandangannya sudah normal. Urat ketegangannyapun kembali rileks. Matanya menatap langsung pada Ji ah -wanita yang berada disampingnya.

"Kau bermimpi buruk? Tak seperti biasanya". Ji ah berkata menyampaikan keheranannya. Pria ini tak pernah tidur jika bersama dirinya. Dan hari ini, setelah pengakuan semalam, ia menemukan ketegangan dalam tidur pria ini.

"Apa kau mau bercerita padaku?" Kembali Ji ah menyuarakan pikirannya. Ki Joon mengusap wajahnya kasar dengan kedua tangannya. Menghapus tetesan keringat yang mengucur deras di dahinya. "Tak apa, hanya mimpi buruk biasa".

Sebuah jawaban yang tentu saja tak diterima oleh akal pikiran wanita ini. Mimpi buruk biasa? Apakah mimpi buruk itu sebuah kebiasaan untuknya?

"Kuharap kau bisa menceritakan mimpi itu. Aku cemas, kau tak seperti biasanya". Lirih Ji ah. Jemarinya kembali menyapu rambut pria yang kini menutup mata, menghilangkan kecemasannya.

"Kukira ini hanyalah sebuah bentuk pelepasan dari rasa cemasku. Kau berjanji untuk tidak meninggalkanku, dan kuharap aku bisa mempercayai itu". Balas Ki Joon.

Tiba-tiba saja mata itu menatap tajam. Tangannya mengangkat lengan tak berdaya itu. "Apa ini karena aku?" Ki Joon bertanya.

Ji ah menatap lengannya yang diangkat dan ditatap bulat-bulat oleh mata tajam pria disampingnya. "Oh? Apa ini? Ku kira tadi tidak seperti ini." Bingung, seketika rasa sakit menjalar dan bersarang pada kulit yang berubah kemerahan itu.

"Sakit?" Tanya Ki Joon sekali lagi. Ji ah terhenyak. Bingung. Disatu sisi ia ingin mengadu. Sakit, sakit sekali. Namun di sisi lain ia tak ingin melihat rasa bersalah yang terpancar dari wajah pria ini. sudah cukup ia terbebani dengan kenangan masa lalunya, dan ia tak pantas untuk pengaduan rasa sakit ini.

"Tidak, ini tak apa. Tenang saja". Menahan rasa sakit, itu pilihan Ji ah saat ini.

"Kau kesakitan, aku tahu itu. Maafkan aku". Mata itu menatap sayu. Merasa bersalah akan kesakitan wanitanya. Ji ah melihat itu dan ia tak tahu harus bagaimana.

"Ki Joon-ssi, percayalah. Ini tak sakit dan aku baik-baik saja. Lihat,-" Ia menggerakkan tangannya keatas dan ke bawah. "Lihat, ini sama sekali tidak menyakitiku". Ungkap Ji ah. Ki Joon menatapnya kosong, sedetik kemudian ia menarik tubuh kurus wanita itu kepelukannya. "Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf". Lirih Ki Joon. Bibirnya mencium puncak kepala wanitanya berulang-ulang kali. "Besok kita akan periksa. Semoga Nara punya obatnya". Ucap Ki Joon.

Ji ah melepas cepat pelukan itu. Ia tatap wajah pria dihadapannya dengan kesal. "Demi Tuhan Uhm Ki Joon! Ini hanya lebam biasa dan sama sekali tidak menyakitkan. Kau tak harus menghambur-hamburkan uangmu untuk kulit yang lebam!" Umpat Ji ah. Mata pria itu kembali menggelap.

"Aku benci membuatmu terluka dan meninggalkan bekas seperti ini,-"

"Lalu perlakuan kasarmu kau anggap apa selama ini?" Ji ah memotong. Merasa jengah dengan pria ini. Untuk beberapa saat ia merasa harus tersenyum dengan lebar, karena hatinya berada dimulutnya saat ini. Namun beberapa detik kemudian, ia menyesal. Keberaniannya telah mengusik pria ini.

"Seperti biasa Lee, pukulan yang tepat". Ucap Ki Joon. Mereka saling menatap tajam. Hingga akhirnya, Ki Joon berbalik dan berdiri dari posisinya. "Ku kira kau ingin menenangkan pikiranmu". Putus Kijoon dan melenggang pergi meninggalkan kamar itu.

***

Kijoon tak muncul setelah malam itu. Saat sarapan, ia sudah berangkat dan tak menyapa Jiah seperti biasanya. Dokter Nara datang, sesuai perintah Kijoon. Wanita itu memberi Jiah beberapa obat yang dapat mengurangi lebam kulitnya. Setelah itu ia meninggalkan rumah dengan cepat.

Pintu kamar Jiah hari ini kembali dikunci. Ia harus menghabiskan waktunya dengan suntuk di dalam kamar yang menurutnya mati. Berguling ke sana ke mari di ranjangnya, Jiah menemukan rasa bosan.

Apa sebenarnya keinginannya? Apa sebenarnya yang ia rasakan terhadap pria itu? Mengapa ia tak pernah sanggup untuk melawan?

Memikirkan perasaan pria itu terluka atas ucapannya semalam membuat Jiah tak karuan. Ia benci keadaan seperti ini. Ia sudah berusaha sebisa mungkin untuk membunuh jarak dengan pria itu. Pria malang yang tak tahu kemana harus melangkah.

Kenyataan rumit yang berhasil ia gali tidak mampu untuk menyurutkan rasa penasarannya akan pria ini.
Kijoon yang semalam, bukan Kijoon pagi ini. Kijoon pagi ini bukanlah Kijoon beberapa hari yang lalu. Dan Kijoon beberapa hari yang lalu mungkin bukan Kijoon beberapa hari ke depan. Ia bingung dengan emosi pria yang selalu berubah-ubah.

Haruskah ia kembali mengorek informasi? Haruskah ia kembali memaksa pria itu untuk mengingat rasa sakitnya? Haruskah ia kembali menjadi Lee Jiah si pemberontak demi menuntaskan rasa ingin tahunya?

Tidak! Ia tidak ingin hal seperti itu lagi. Kijoon akan marah besar dan ia tak akan sanggup untuk kembali merasakan pukulan-pukulan dari tangan pria itu.

Uhm Kijoon, mungkin untuk saat ini ia harus bersabar. Ia tak mungkin memilih jalan untuk meninggalkan pria itu. Tidak sebelum semua rasa penasarannya terjawab dan tidak sebelum rasa aneh pada hatinya terungkap.

Tbc~

Selamat hari senin 🌈

BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang