BAB 5

170 4 0
                                    

ALEX

Aku turun dari kamar menuju ruang keluarga. Kulihat Bianca sedang mengajari Mikha menulis. Aku sangat beruntung tinggal serumah dengan Bianca. Sosoknya menjadi teman sekaligus Ibu bagi putra semata wayangku. Ada Mbok Jum juga di rumah, tetapi ia tidak akan sanggup menghadapi Mikha sendirian.

Sejak kecil, Mikha termasuk anak yang berbeda dibandingkan dengan yang lain. Gerakannya sangat aktif. Ketika umurnya belum genap satu tahun, ia akan menangis sangat keras dan gerakannya sangat kuat jika haus atau merasa tak nyaman. Suaranya bisa membangunkan orang satu komplek. Bianca yang sabar menghadapinya, memeluknya dan menenangkannya. Bahkan ketika saat itu istriku masih ada di sini. Bianca dan Mikha sangat dekat.

Bianca memakai kaus lengan pendek berwarna krem dan celana pendek berwarna cokelat. Rambutnya digulung asal ke atas. Kurasa efek terlalu lama sendiri yang membuatku mulai merasakan sesuatu ketika memandang Bianca atau berdekatan dengannya. Solusinya aku harus mulai berkencan lagi.

Ah, tapi Bianca memang sangat menawan. Tidak mirip dengan istriku, walaupun mereka kakak dan adik. Abel istriku adalah kakak dari Bianca. Keduanya sama-sama cantik, tetapi berbeda. Abel berwajah sangat Indonesia, sedangkan Bianca mewarisi garis kaukasia. Rambutnya yang tergerai berwarna kecokelatan, walaupun tidak diwarnai, hidungnya mancung. Matanya dalam dan lebar, bibirnya indah seperti dipahat dengan sempurna, dan wajahnya sempit dengan dagu yang lancip.

"Kenapa banyak sekali yang harus ditulis, Ma. Tanganku pegel. Lihat ini... nggak kasihan sama aku?" Mikha tampak lelah. Ia tidak akan betah mengikuti kegiatan yang berkaitan dengan ketekunan seperti ini. Ia lebih senang melakukan aktivitas di luar.

"Katanya mau jadi pengibar bendera. Ada testnya lho. Harus bisa menulis. Diteruskan ya, nggak banyak kok." Bianca terdengar sabar menghadapi rengekan si kecil.

"Ah, Mabi. Dilanjutkan besok aja. Aku lapar. Perutku sakit. Mabi nggak kasihan sama aku kalau nanti aku sakit?" Ah, si kecil ini ada-ada saja alasannya kalau berkaitan dengan pekerjaan sekolah.

Bianca menghela nafas sebelum berucap. "Ya udah, makan dulu, minta sama Mbok Jum. Mabi tungguin di sini. Kalau udah selesai, balik ke sini lagi ya. Kasian, anak Ayah Alex kelaparan." Bianca mengusap kepala Mikha.

"Eh Ayah." Mikha menyapaku ketika ia melewatiku menuju ke ruang makan.

"Diisi dulu tenaganya ya, terus balik ke sini lagi. Kasihan Mamanya kalau nungguin kelamaan." Ucapku.

"Siap Ayah." Mikha mengangkat tangannya membentuk gerakan hormat lalu berlari-lari kecil meninggalkanku.

Aku menghempaskan pantat di samping Bianca, pada sofa yang terletak di belakang Bianca. Bianca sendiri masih duduk di lantai menghadap meja.

"Aduh Mas, kesemutan nih." Bianca meringis, hendak bangkit berdiri dengan susah payah.

"Eh, sini." Aku memegang pinggangnya agar tidak terjatuh.

Posisiku seperti memeluk pinggangnya karena begitu dekat. Aroma sabun bercampur aroma tubuhnya yang khas kuhidu dari dekat. Eh, aku merasakan kembali sesuatu yang asing itu.

Kaki Bianca bergerak-gerak, melancarkan aliran darahnya agar rasa kesemutannya hilang.

"Sudah Mas, nggak usah dipegangin."

Bianca mengambil duduk tepat di sebelahku.

"Mas, kita perlu bicara tentang Mikha." Bianca berkata dengan sangat pelan. Aku tahu maksudnya, berarti Mikha tidak perlu mendengarkan percakapan kami.

"Kita ke ruang kerja saja." Kami pun beranjak menuju ruang kerja yang bersebelahan dengan ruang tidur tamu.

Aku duduk di balik meja kerja, sedangkan Bianca duduk menghadapku. Kami dibatasi oleh sebuah meja besar tempat aku menghabiskan beberapa jam waktuku setiap hari. Ruangan ini tidak besar, hanya berisi sebuah lemari buku, sebuah meja kerja, satu unit PC, dan satu unit printer.

ADIK IPARKU RASA GEBETANKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang