Sekarang hari Kamis. Dari awal pekan aku diare hebat. Setiap harinya aku mengunjungi toilet sebanyak delapan kali. Entah bagaimana itu terjadi, tapi ada yang bilang karena aku tertekan.
Bisa dibenarkan, empat hari lalu aku mulai bekerja. Sebagai sales. Aku tau lulusan Sekolah Mengah Atas memang sulit mencari kerja di tengah banyaknya pengangguran di Indonesia.
Tapi tak pernah terlintas dibenakku bahwa aku berujung menjadi sales di toko elektronik.
Selama empat hari aku menjajakan dagangan satu persatu di akun sosial media milikku. Ada yang memblokir, mengolokku, ada juga yang janji membeli asal aku mengiriminya foto telanjang.
Selama empat hari kepalaku sakit. Hari pertama aku menggigil dan sesak nafas malamnya. Hari kedua aku diare dari pagi sampai malam. Hari ketiga aku diare hebat, dua kali lipat dari sebelumnya. Dan saat ini kepalaku sakit, dadaku sesak, mataku sembab.
Selain menjadi sales, ternyata aku merangkak sebagai konten kreator. Ya harus membuat video, lalu diunggah di platform sosial media. Jujur itu menggelikan untukku. Aku bahkan tidak ingin memajang foto karena aku tidak percaya diri dengan wajah.
Ya. Aku seburuk itu. Aku sempat dibully karena wajahku. Kalau bisa aku ingin memakai topeng kemanapun. Nah ini aku disuruh memparodikan tren viral untuk promosi. Bukannya bagaimana, aku yakin akan menggantung diriku jika menerima hujatan dari sosial media.
Lalu, pikiran buruk mulai menjajah akal sehatku. Aku sengaja tidak sarapan, sengaja tidak minum, sengaja begadang agar aku sakit. Ketika di jalan raya aku sering berpikir membuat diriku celaka.
Puncaknya hari ini, atasanku marah besar. Dia mengungkapkan kekesalannya dengan mengancam pemecatan bagi karyawan baru, yaitu aku dan dua orang lagi. Katanya kami bekerja tidak becus. Dan dia menyesal menerima kami diantara puluhan orang yang melamar.
Satu dari kami menggertak. Dia memilih tidak terlibat lagi dengan toko elektronik itu. Akupun ingin mengikuti jejaknya. Namun aku memikirkan ibu. Dia paling terlihat antusias ketika aku mendapat pekerjaan.
Atasan memeberiku waktu sampai besok. Dia menyuruhku pulang untuk menenangkan diri. Tapi aku belum siap menampakkan batang hidungku di depan ibu sebelum jam pulang kerja.
Aku mengambil jalan yang berbeda dari biasanya untuk pulang. Jalan yang lebih jauh. Sepanjang jalan aku menangis, aku juga mengendarakan sepeda motor sepelan mungkin, sampai pejalan kaki saja menyalipku.
Tapi tetap saja. Aku memasuki perumahan pukul setengah tiga. Mengisi tiga puluh menit agar aku tiba di rumah pukul empat, aku berdiam diri di depan tempat ibadah. Menonton anak-anak kecil yang bersepeda, jajan, berlarian. Rasanya ingin kembali ke masa itu juga.
Banyak yang memperhatikanku aneh, hingga akhirnya pukul empat tiba, aku pulang. Disambut ibu yang tengah menggendong keponakanku. Aku segera masuk kamar. Dipikiranku, aku harus menumpahkan semua tangisan.
Saat aku menutup mata, memikirkan bagaimana esok tidak melihat dunia. Seorang anak kecil berdiri di jembatan. Entah apa yang terjadi sampai kami berkenalan.
Gadis berambut coklat itu tidak memiliki nama. Dia hanya menggeleng saat aku bertanya. Wajahnya pucat, badannya kotor, matanya merah, bajunya dipenuhi bercak darah dan debu. Aku tau, dia tidak sama sepertiku.
"Nama kamu siapa?" tanyaku.
Dia menggeleng. Tidak menjawab apapun.
Aku menatap mata bulatnya. "Bagaimana kalau nama kamu Dabi?"
Dia memringkan kepalanya. "Dabi?"
"Iya, Dabi! Nama yang lucu, cocok untuk kamu," sahutku.
Aku berjalan sembari mengamit tangan dingin Dabi. Menyusuri tempat kuno yang tidak aku ketahui dimana. Banyak penghuni yang tiba-tiba bersembunyi saat aku datang.
"Hei!"
Mendengar seruan itu, aku maupun Dabi menoleh.
"Mama!" Dabi berteriak melengking.
Aku hanya memperhatikan interaksi mereka berdua. Perempuan bergaun putih itu memeluk Dabi, menyembunyikan dibelakang punggungnya, lalu menatapku.
Aku melambaikan tangann ke arahnya. "Hai," sapaku.
Mama Dabi mendekat, lalu mengangguk, Sepertinya dia paham tentang kondisiku.
"Jadi dia orangnya?" tanya Mama Dabi.
Dabi mengangguk. "Namanya Kak Gina."
"Kalau nama mama Dabi siapa?" Aku bertanya.
Perempuan itu mengkerutkan dahinya bingung. "Dabi?"
"Ah maaf lancang. Aku memberi nama Dabi untuk anakmu. Tidak apa?"
Perempuan itu tersenyum lebar lalu menatapku, duh bagaimana ya, agak seram. Tapi aku berusaha balas tersenyum.
"Nama yang bagus. Tapi, akupun tidak memiliki nama. Kamu bisa memanggilku apapun."
Aku berpikir sebentar, barangkali dia lebih tua dariku. "Ah, umur kamu berapa?"
"Umur? Aku meninggal saat umur sembilan belas tahun. Tidak akan bertambah," balas mama Dabi.
Kami dalam keheningan sebelum perempuan yang seumuran denganku itu berkata, "Bagaimana kalau sister? Aku yakin umur kamu dibawahku."
Aku mengangguk antusias. "Sister..., apa kamu, orang Indonesia?"
Sister menggeleng. "Bukan. Aku hanya tinggal disini saat aku ditumbalkan sebagai wanita hiburan, lalu disekap, diculik, kemudian disetubuhi sampai hamil. Saat melahirkan aku meninggal. Lantas sembilan tahun kemudian anakku menyusul."
Aku, Dabi, dan Sister berjalan-jalan. Aku tidak merasakan apapun ketika melihat bangunan kuno ini. Tidak takut atau semacamnya. Biasa saja.
"Bagaimana aku bisa makan disini?"
Dabi menunjuk pohon anggur hijau. "Kakak bisa makan itu, boleh dimakan kok. Hanya itu ya, yang lainnya tidak aku sarankan."
Aku menuju ke pohon anggur yang tumbuh subur. Lalu memetiknya. Memperhatikan buah anggur berwarna hijau itu, sepertinya pernah aku lihat.
"Beneran aman? Bisa dimakan?"Dabi mengangguk.
"Itu buah biasa Gina. Seperti buah yang kamu makan dari rumah nenek. Ini pekarangan rumah nenek kamu dulu. Sepertinya nenek kamu belum lahir," imbuhnya.
Aku memakan buah itu was-was. Sering mendengar orang makan hidangan yang berbeda. Seperti ayam panggang, ikan bakar, padahal aslinya kepala monyet, atau belatung.
Aku berjalan, dan bercerita banyak kepada ibu anak itu. Mereka mendengarkan ceritaku dengan baik.
"Aku ingin disini bersama kalian," ungkapku.
Mereka berdua menggeleng tidak setuju.
"Jangan Gina, disini terlalu berbahaya." Sister mencegahku. "Kamu tau yang akan kamu lihat disini?" tambah Sister.
Aku menggeleng.
"Tutup mata kamu, lalu bukalah saat hitunganku ke tiga."
Aku menurutinya, perlahan memejamkan mataku.
"Satu...,"
Telingaku berdengung, angin kencang seperti menerpaku.
"Dua...,"
Hawa panas melingkupiku, berbagai bisikan menjadi satu, dan tubuhku seperti digerayangi seribu semut. Aku tetap berdiri.
"Tiga...,"
Suara jeritan, seperti memecah telingaku. Ragu-ragu aku membuka mata.
Lalu lalang orang-orang berubah. Diantara mereka ada yang tidak memiliki anggota tubuh lengkap, badan berlumuran darah, bergantungan di pohon sambil terkikik, sampai melayang di atas kepalaku.
Aku awalnya kaget, namun bisa mengontrolnya. Aku tidak dapat membayangkan jika melihat ini dalam kehidupanku yang sesungguhnya.
Ada satu dari mereka menoleh ke arahku, dia berdiam diri di bawah semak-semak. Sesosok ibu-ibu. Badannya bungkuk, berambut panjang, memakai kebaya berwarna hijau tua, dia tersenyum.
Aku membalasnya, tidak ada rasa takut sedikitpun.
Satu hal yang aku harapkan, aku tidak ingin pergi. Tidak ingin kembali ke-kehidupanku, karena lebih menyeramkan dari apa yang aku lihat disini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dabi. (Anak kecil yang selalu hadir ketika aku menutup mata.)
TerrorDabi. Nama yang aku sematkan untuk anak kecil berumur sembilan tahun. Dia mengepang dua rambutnya, dipikiranku rambutnya berwarna coklat. Dia hidup jauh sebelum aku lahir. Namun dia tetap anak kecil yang berumur sembilan tahun hingga kini. Dia baru...