Selamat datang kembali semua^^ jangan lupa vote dan koment ya, hihi:)
⚠️🚬⚠️
Sakit yang menyerang kepala Bryan semakin menjadi. Hari ini dia lupa meminum obatnya. Em, mungkin untuk beberapa hari ini dia memang malas mengonsumsi obat yang entah memang benar menyembuhkan atau hanya sebagai obat ketergantungan saja. Bryan juga merasa kesal setengah mati mengingat Justin yang sudah dari lama tidak bersua dengan Ray, malah mendapat perlakuan baik dan benar-benar membuat iri.
"Sial!!" Bryan mengeraskan rahangnya dan masuk ke dalam mobil. Bukan hilang pikiran tapi saat ini Bryan hanya ingin pergi dari villa itu.
Bryan berharap kalau Justin mati karena dibunuh oleh Ray sendiri. Dia sangat mengharapkan hal itu.
***
Sudah lewat dua hari sejak kedatangan Justin. Aksi pembunuhan Ray yang biasa ia lakukan juga menjadi berkurang, alasannya karena Justin yang terlalu mengekang. Ray juga tidak bisa menolak karena setiap dirinya ingin menolak, ia selalu merasa seperti di bawah sebuah tekanan yang tidak lain merupakan aura yang keluar dari tubuh Justin. Bahkan yang paling memuakkan adalah Justin juga menjelma menjadi guru baru di sekolah Ray. Dia dengan kekuatan uang yang ia miliki—membayar staf sekolah untuk menjadikannya guru di sana tanpa bertele-tele dan merepotkan.
"Sial! Apa yang dia mau sebenarnya?" Ray merasa frustasi dan kesal. Ia tidak lagi bisa memakai belati kesayangannya. Ia tidak lagi bisa mencium aroma amis darah yang senantiasa ada di villanya. Ia tidak lagi bisa berburu, bahkan mangsa yang sudah ia tandai tidak dapat ia buru. Itu benar-benar mengesalkan.
Yang lebih mengesalkannya lagi adalah dirinya yang tidak mampu melawan Justin. Memang bisa diakui bahwa Ray merupakan pembunuh berdarah dingin yang tidak akan segan-segan menancapkan sebilah mata belatinya ke jantung bayi yang sudah ia tandai. Bahkan selama melakukan aksinya, Ray selalu aman dan tidak bisa diselidiki bahkan oleh polisi dan detektif sekalipun karena memang pembunuhan yang Ray lakukan sangatlah bersih.
Namun, jika dibandingkan dengan Justin yang sudah melakukan aksinya sedari kecil sampai saat ini usianya sudah menginjak kepala empat, serta banyaknya nyawa yang telah ia renggut, Ray masih kalah jauh dan bisa dikatakan sudah seperti langit dan bumi.
Ray akui dia sangat tertekan setiap kali Justin mulai melebarkan matanya—melotot pada dirinya hanya karena sebuah kesalahan kecil. Ia sudah sering mendapat tatapan tajam itu sejak ia kecil, lebih tepatnya setelah kecelakaan yang ia alami.
Hanya satu hal yang sangat Ray penasaran, sebenarnya kenapa Justin melakukan semua ini? Bukankah Justin sangat bebas dan tidak suka ikut campur dalam urusan pribadi orang? Kenapa dia capek-capek melakukan hal yang bahkan bisa membuatnya mati kebosanan.
"Nggak ada alasan buat Justin ngelakuin hal ini ke aku. Tapi... kenapa?!!" gumam Ray yang sedang duduk di kursinya.
Ray yang sedang berpikir keras, sesekali ia menjentikkan jarinya ke meja membentuk suatu irama yang teratur dan enak didengar. Hingga beberapa saat ia mulai menyadari dari sebanyak-banyaknya suara langkah kaki, ada satu sedang mendekat ke arahnya. Ia melirik ke samping dan melihat Halley sudah berada di dekatnya. Mau apa lagi dia sekarang? Bukankah kemarin sudah dengan sangat jelas ia katakan kalau dia tidak ada hubungannya dengan ketidak hadiran Jack.
"...itu. Aku cuma ingin memastikan lagi, apa benar kamu tidak melihat Jack? Soalnya terakhir aku ingat Jack bilang ingin memastikan sesuatu tentangmu." Halley berbicara patah-patah dengan ekspresi canggung. Di pikirannya saat ini hanya ada ingatan mengenai kejadian di atap waktu itu. Waktu Halley dengan tidak kerennya mencium Ray dan mengucap selamat tinggal, berjanji tidak akan mengganggu Ray lagi. Tapi aksinya sekarang justru sangat membuat Ray kesal.
"Aku tidak tau. Tanya yang lain sana!!" Ray memutar bola matanya malas dan membuang muka, menatap ke luar jendela di mana saat ini langit-langit yang biasanya cerah sedang mendung.
"HEI! HEII!!"
"SIR JUSTIN DATANGG!!!!"
"Sial!" Ray mendengus dan berubah pikiran. Tiba-tiba ia terpikirkan suatu ide bodoh yang entah kenapa bisa muncul di otaknya. Mumpung orang yang sangat menaruh hati padanya masih saja merona setiap kali melihatnya, dia harus memanfaatkan itu. Kenapa tidak dari awal saja dia melakukan hal ini. Benar-benar!
"Baiklah anak-anak! Saya tidak suka berbasa-basi jadi buka buku kalian halaman 40 dan kerjakan semua soal yang ada di halaman tersebut, kemudian kumpulkan saat jam pelajaran habis." Dengan seenaknya Justin langsung memberikan satu kelas tugas yang bahkan tidak mungkin selesai dikerjakan hanya satu malam.
"Bajingan tua tengik!!!"
***
Sepulang sekolah. Adalah saat-saat yang paling dinanti-nantikan oleh seluruh manusia di muka sekolah. Baik itu murid, guru, staff, bahkan para penjaga kantin. Tak luput dari semua itu, Ray adalah sosok yang paling menyukai bunyi bel pulang. Benar-benar sikap tak mencerminkan umur.
"Mau bareng?" Halley tersentak kaget saat mengetahui kalau Ray lah yang menyerukan hal itu. Sebuah pertanyaan yang sangat bermakna dalam untuknya. Pertanyaan sederhana tetapi begitu melekat di hati.
"Ma-maksudnya...?" tanya Halley canggung, tangannya menggaruk-garuk tengkuknya yang tentu saja tidak gatal sama sekali.
"Iya pulang bareng. Hari ini aku tidak bawa mobil," ucap Ray sambil menatap ke langit-langit samping. Tentu saja itu bohong. Sebenarnya dia bawa mobil, tapi berdua dengan Justin. Namun saat ini dia sedang menjalankan suatu rencana, jadi sudah izin lebih dahulu pada Justin kalau untuk beberapa hari ini dia tidak akan pulang bersama naik mobilnya.
"Begitu, ya.. ba-baiklah, ayo!" Halley dengan senang hati mengangguk dan tersenyum. Ia berjalan duluan ke arah parkiran karena merasa canggung jika berjalan sampingan dengan Ray. Padahal ada momen yang lebih canggung lagi yang akan ia hadapi nanti.
Mobil yang membawa Ray dan Halley sudah melaju sejak lima menit yang lalu dan Justin yang memperhatikan itu sedari tadi, langsung menancapkan gas begitu saja dan mengikuti kemana mobil di depannya pergi.
Suasana di mobil yang ditumpangi oleh Halley dan Ray saat ini begitu sunyi. Sangat canggung karena keduanya hanya diam tak bergeming sejak gas ditancapkan pertama kali. Entah kenapa sulit sekali bagi Halley untuk membuka mulut—memulai sebuah percakapan. Kalau melihat wajah Ray, ia langsung teringat akan kejadian di atap. Benar-benar memalukan!
"Ray, a-adakah yang kau takuti di dunia ini?" tanya Halley begitu saja, setelah mengumpulkan semua keberaniannya.
Ray tampak berpikir sejenak. "Ada,"
"Oh ya? Siapa itu, Ray?" tanya Halley lagi, kini rasa canggung mulai sedikit berkurang.
"Justin," jawab Ray cuek dan membuka ponselnya karena ada getaran notifikasi. Ia mengerutkan dahinya membaca sebuah pesan pendek yang ia terima dari Justin. Orang ini bicara apa sih? Begitulah yang ada di pikiran Ray saat ini.
"Kenapa Ray?" tanya Halley melihat wajah Ray yang tampak berubah menjadi menyeramkan.
"Tidak! Lanjutkan saja menyetirnya."
"O-okee."
Ray berdecak. Masih kepikiran pesan yang dikirim oleh Justin tadi. Bagaimana bisa ia mengatakan hal itu dengan mudahnya? Apa dia gila? Ray benar-benar tak habis pikir, kenapa bisa ia terjerat oleh bajingan gila macam Justin ini sih.
Halley cuma bisa merenung. Ia sangat penasaran dengan hal apa yang membuat Ray jadi berubah aura seperti itu. Padahal tadi Ray tenang dan yah.. dia memang cuek, apalagi terhadap dirinya. Namun setelah mendapat pesan, raut wajahnya berubah kesal dan jengkel. Halley penasaran pesan itu isinya apa. Sungguh!
Justin terkekeh dan memasukan ponselnya lagi ke dalam saku celana. Ia tampak girang dengan lekukan manis di bibirnya. Entah hal apa yang membuat Justin begitu senang saat ini, yang pasti ada hubungannya dengan pesan yang diterima oleh Ray tadi. "aku melakukan ini untukmu, Ray."
•••
Maaf baru bisa hadir T^T
Koreksi kalo ada typo ya, terimakasih 😆😆
KAMU SEDANG MEMBACA
PSYCHOPATH || BL18+⚠
Mystery / Thriller[SELAMAT DATANG DI DUNIA RAY] Berawal dari kebosanan hidup yang terus bersiklus. Ray Regan, seorang pembunuh yang masih amatiran namun sudah berhasil mencetak rekor sebagai pembunuh paling banyak hanya dalam tiga tahun saja. Setiap ada waktu, dia me...