Part 39. Ikhlas

1.4K 115 38
                                    

"Pak Riko meㅡ"

"Keluarga pasien Enriko!"

Arin segera berjalan ke sumber suara, ia mendekati orang berpakaian putih di ambang pintu sebuah ruang berpintu kaca.

Ada beberapa hal administrasi yang harus Arin selesaikan. Sepanjang proses, ia meyakinkan dirinya sendiri., untuk kuat dan tak tergesa.

"Tenang, Rin. Tenang. Kalau perawatnya aja nyuruh ngelengkapin administrasi kayak gini sambil santai, berarti Mas Riko nggak apa-apa."

Akhirnya, Arin mendapat pencerahan jika Riko kini berada di ruangan paling ujung. Segera ia berlari. Sosok yang ia cari, tengah duduk dengan lengan kiri dibebat kain putih.

"Mas."

Laki-laki yang tengah bertelanjang dada itu menoleh.

"Sayang."

Arin mendekat dan memeluknya. Dalam diam, ia menumpahkan tangis kelegaan. Rasa syukur ia ucap. Tak histeris, ia mencoba mengelola emosinya.

"Sayang." Suara Riko membuat Arin tersadar. Ia segera menghapus air matanya.

"Hm? Kenapa? Laper? Mau dibeliin sarapan?"

Riko menatap calon istrinya. Sembab di mata Arin tentu tak bisa ditipu. Riko tahu betapa khawatirnya, Arin. Namun, gadisnya, berusaha tegar meski bibir dan tangannya bergetar karena ketakutan.

"Maaf ya, udah bikin kamu khawatir."

Arin menggeleng. Sekuat tenaga ia menahan agar tidak kembali menangis.

"Nggak ada kesalahan yang perlu dimaafkan, kok."

Riko menatap pujaan hatinya, meski tak terbalut sedikitpun make up, wajahnya yang imut, terlihat sempurna. Kulitnya tak terlalu putih, gigi kelinci yang berderet hampir rapi, hidung yang tak setinggi punyanya, tetapi cukup menggemaskan untuk menjadi sasaran cubitan.

Pipi gembil meski tubuhnya tak gemuk. Bibir mungil yang sering kali mengeluarkan kata-kata ta terduganya membuat Riko meraskaan segala emosi jiwa mulai dari senang, marah, panik, dan bingung. Semua terlihat sangat sempurna di mata Riko.

"Jangan nangis."

Arin menggeleng. "Nggak, aku nggak nangis. Aku, kan, mau jadi ibu-ibu pinky. Aku harus cantik, kuat, dan nggak mewekan."

Riko terkekeh. "Cie ... Akhirnya mau punya seragam pink."

Arin menatap calon suaminya.

"Aku nggak peduli sama seragamnya. Aku nggak pengen pakai seragamnya. Aku cuma pengen, jadi Nyonya Enriko Zein. Perkara kamu masih berseragam, mau jadi tukang cilok, mau jadi apa. Bodo amat. Asal itu kamu, aku mau jadi istrimu. Aku mencintaimu, bukan seragammu. Bahkan, kalau boleh aku bilang jujur, aku benci sama seragammu. Yang menyita banyak waktumu, yang membuatmu selalu berada di dalam tempat berbahaya. Yang selalu bikin kita berjauhan."

"Hmm ... Jadi, udah yakin milih Pink dari pada Green? Aku masih buka lowongan kalau kamu mau milih Green."

Sosok bertubuh kekar dengan kulit terbakar matahari masuk ke dalam ruangan. Arin seketika membalik tubuh dan mengubah raut wajahnya.

"Aku digodain dia terus, Mas," adu Arin.

Riko terkekeh. "Nggak usah mancing-mancing. Ntar gue laporin bini lu, dicincang lu."

Arin mengernyit. "Bini?"

Prabu terbahak. "Aku cuma ngetes dia. Dia udah bukan Arin yang dulu. Yang semudah kupu-kupu hinggap di sana sini. Kamu berhasil menjerat dia dengan pesonamu, Ko."

Green or Pink (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang