Satu

9.1K 419 23
                                    

Sudah tiga tahun Dira mencoba melupakan cinta pertamanya, nyatanya berakhir gagal total. Apalagi saat ia melihat seseorang itu, ada getaran yang selalu ia rasakan.

Dira menekan dadanya yang sesak, sadar betul bahwa ia masih mencintainya, meski kenyataan menamparnya kalau pria itu adalah kakak iparnya sendiri. Dira merasakan hal kian menyakitkan kala melihat pria itu bermesraan bersama dengan kakaknya.

"Sadarlah posisimu, Dira," rutuknya pada diri sendiri. Dira yang awalnya ingin mengunjungi kakaknya di rumah sakit, memilih pergi saat melihat dua pasangan yang sepertinya tidak ingin diganggu.

"Kamu gak jadi jenguk mbakmu?" tanya Ibu saat melihat Dira pulang. Padahal beberapa menit yang lalu Dira berpamitan ingin menjenguk kakaknya, eh malah tidak sampai 1 jam sudah pulang.

"Ada suaminya, Bu, gak enak kalau Dira ganggu," sahutnya.

"Ya sudah, nanti jenguk sama ibu aja, ya." Dira mengangguk setuju.

"Kalau gitu Dira ke kamar," pamitnya dan berlalu.

Dira menghela napas pelan, melempar tasnya, dan menghempaskan dirinya di atas ranjang. Ia menatap langit-langit kamar, masih ingat di benaknya beberapa tahun silam. Ia ingat bagaimana ia jatuh cinta dengan Abi, pria beda 4 tahun dengannya dan juga masih satu kompleks perumahan.

Dira juga ingat bagaimana ia diam-diam mengaggumi dan mencintai dalam diam. Tidak ada yang tahu perasaannya, bahkan keluarganya sendiri. Namun, pada akhirnya Dira merasakan patah hati, padahal dia bukan siapa-siapa. Saat Abi melamar kakaknya di depan orang tuanya dan juga dirinya.

Kala itu, Dira dengan sekuat tenaga menahan tangis dan sesak di dada. Pura-pura bahagia saat kakaknya dipinang oleh pria yang terkenal baik dan ramah.

Sampai saat pernikahan mereka terlaksana, Dira terus memasang topeng bahagia dan baik-baik saja meski hatinya hancur.

Kini tiga tahun telah terlewati, hati berusaha mampu melupakan, nyatanya setelah melihatnya kembali, getaran itu masih ada. Getaran kala Dira jatuh cinta saat pertama kalinya.

Hal inilah Dira membenci dirinya sendiri. Terlihat sangat bodoh sekali. Tapi, memanglah melupakan cinta pertama tak semudah membalikan telapak tangan. Kadang, ia merasa iri saat teman-temannya dengan mudahnya ke lain hati setelah putus dengan sang kekasih. Seakan move on itu mudah sekali. Tapi kenapa ia tak bisa? Berkencan dengan pria juga ia merasa tak tertarik.

"Sudahi memikirkan suami orang, ayo kita belajar move on lagi dan lagi."

****

Jam setengah 7, Dira dan kedua orang tuanya menuju ke rumah sakit. Dira mengikuti dari belakang seraya memainkan ponselnya. Dira menghela napas pelan saat ia sudah berada di depan pintu ruang rawat kakaknya. Berdoa semoga tidak ada suami kakaknya.

Dira bernapas lega saat Abi tak ada di sana. Hanya ada kakaknya yang bersama ibu mertuanya. Tak lupa ada orang tuanya lalu disusul dengan Dira sendiri.

"Hai, Mbak," sapa Dira pada kakaknya. Dira duduk di kursi, menghadap ke arah kakaknya.

"Hai juga, Dek. Katanya tadi siang mau ke sini, padahal Mbak nungguin loh."

Dira meringis kecil, tak mungkin ia jujur pada kakaknya kalau ia siang tadi ke sini, namun tak jadi karena ada suami kakaknya.

"Maaf ya, Mbak, Dira tadi ketemu sama teman. Tapi 'kan sekarang Dira di sini."

Sintia tertawa pelan, ia sangat rindu dengan adiknya. Sayangnya, setelah pernikahannya dengan Abi, Dira yang juga lulus kuliah, memilih bekerja di luar kota.

"Kamu ini, padahal aku sakit malah jenguknya sekarang."

"Ya Maaf, Mbak, namanya juga sibuk," alibi Dira. Sebenarnya ia bisa saja mengambil cuti lalu pulang kampung. Sayangnya Dira tak melakukannya dan menyibukan diri agar melupakan cinta pertamanya.

Ah, miris sekali hidupnya. Cinta kok sama suami orang.

"Mbak maafin. Sebagai gantinya nikah sama Mas Abi ya."

Deg.

Dira tahu kakaknya sedang bercanda, tapi kenapa bercandanya begini. Tak tahu apa, kalau Dira sensitif sama namanya Abi. Bawaannya mules.

"Mbak mah, suka bercanda." Dira tak menanggapi candaan kakaknya. "Mbak mau apa? Apel apa pir? Biar Dira kupasin." Dira memilih mengalihkan pembicaraan.

"Pir aja, Dir," sahut Sintia. Dira pun membersihkan buahnya terlebih dahulu, sebelum mengupasnya dan memotongnya.

Dira menatap tubuh kakaknya yang kurus, pipi juga tirus. Dira ingat kalau kakaknya dulu tak seperti ini. Entah penyakit apa yang diderita, Dira tak mengetahuinya.

"Kakak sakit apa, sih?" tanyanya. Pasalnya ia bertanya pada ibunya, ibunya hanya menjawab sakit biasa aja, namun wajahnya terlihat sedih sekali. Hal itu membuatnya heran, sakit biasa tapi kenapa perubahan tubuh kakaknya se-drastis ini.

Dira tak melihat kepedihan kakaknya karena sibuk mengupas kulit buah pir. Saat mata Dira menatap kakaknya, raut kesedihan kakaknya berubah menjadi senyuman terbaiknya. Senyuman indah di bibir pucatnya.

"Gak sakit apa-apa kok. Tapi doain biar sembuh ya," ujar Sintia masih tersenyum.

"Pasti dong, Mbak," jawab Dira.

"Dir, Sin, kami cari makan dulu ya. Nanti dibawain apa, Dir?" pamit dan tanya Ibu.

"Terserah Ibu aja, Dira mah apa-apa masuk kok."

"Ibu bawain batu memangnya mau makan?"

"Ah Ibu, masa dibawain batu sih. Ya makanan dong, Bu." Bibir Dira mengerucut, maju beberapa centi. Bukannya terlihat menggemaskan, malah terlihat seperti ingin ditampol.

"Makanya jangan terserah. Dijawab yang bener."

"Nasi padang juga mau, Bu."

"Nah gitu dong jelas."

Ibu, ayah, dan ibu mertua Sintia keluar dari ruangan. Dan menyisakan dua perempuan, adik dan kakak.

Dira menyuapi Sintia dengan telaten, sesekali mereka melemparkan beberapa candaan dan bercerita tentang keseharian.

"Kamu di sini lama 'kan?" tanya Sintia.

"Aku cuti cuma seminggu, Kak. Emangnya kenapa?" sahut dan tanya Dira.

"Gak apa-apa, Mbak cuma tanya aja kok. Tapi Mbak harap kamu di sini aja sih."

"Haha, kalau di sini, nanti bisa-bisa dipecat dong."

"Kamu bisa kerja di kota ini 'kan. Gak udah di luar kota."

"Udah nyaman Mbak, apalagi aku kerja udah 3 tahun."

"Padahal Mbak masih ingin sama kamu."

Dira tertawa pelan. "Janji deh, seminggu ini ngunjungi Mbak. Gimana? Deal?"

"Deal."

"Dir," panggil Sintia dengan nada pelan. Matanya menerawang di atas, banyak sekali pikiran memenuhi di otaknya.

"Kenapa Mbak?"

"Misalkan Mbak udah gak ada di dunia ini. Apa kamu bisa janji sama Mbak, menuruti permintaan Mbak yang terakhir kali?"

Perkataan Sintia menghentikan atensi Dira dari makan buah pir sisa kakaknya. Merasa pendengarannya yang eror. Yakin kalau Dira salah mendengar.

"Mbak tadi ngomong apa? Bisa diulangi?"

"Kalau Mbak udah pergi selamanya, kamu mau gak memenuhi permintaan Mbak?" Tatapan Sintia begitu berharap pada Dira. Seolah Dira harus mengatakan IYA.

"Mbak kok ngomongnya gitu sih. Pamali, Mbak, gak boleh asal ngomong kayak gitu." Dira terkekeh, tak menanggapi ucapan nyeleneh kakaknya.

"Mbak bercanda. Tapi, kalau itu benar terjadi, kamu harus memenuhinya ya."

"Iya-iya, udah gak usah dibahas." Dira yang asal bicara tak melihat ada binar di wajah kakaknya.

****
31/01/22

Cerita ini ngikut event nubar 25 hari samudera printing.

Silakan simpan jika berkenan.

See you next chapter.

𝐌𝐞𝐧𝐢𝐤𝐚𝐡 𝐃𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐈𝐩𝐚𝐫 (𝐄𝐍𝐃)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang