1. It Happened Again

34 1 0
                                    

Cayapata Calandra Petra. Sudah setengah jam gadis bertubuh mungil dan berambut sebahu itu berdiam diri di kamar. Tanpa melakukan apa-apa, hanya berdiam diri. Pikirannya sedang bertamasya menelusuri kejadian tiga bulan terakhir. Ada raut wajah sedih, marah, bingung, ngenas terpampang di wajahnya. Calandra hanya melamun berkepanjangan. Dan sesak mulai menyerang saat ingatannya berhasil berputar.

Sudah tiga bulan berlalu dan ia baru menyadari hari ini, di pertengahan November. Tentang semua yang tersugguhkan sejak Juli hingga September, dan kini hampir Desember. Pria itu benar-benar tak menghubunginya lagi. Benar-benar tak ada telpon yang masuk. Bahkan yang biasanya tiap hari bisa mencapai 2-3 kali panggilan suara dari pemuda itu. Atau bahkan ajakan-ajakan makan ketoprak di tiap minggu.

Bercerita mengenai kisah masing-masing hingga larut malam. Video call-an sampai Zoom Meeting hingga berjam-jam, Calandra berasa menjadi mahasiswi yang dosennya adalah pria itu sendiri saat melakukan panggilan video. Ia menjelaskan hal-hal detail yang Calandra baru kethaui, hal-hal yang membuat ia terkagum mendengarkan penjelasan pria itu.

Pemikiran brilian, penjelasan yang lancar dan mudah dipahami, seperti seorang dosen. Kini, tak ada satu pun yang masih berlanjut. Hanya ada stories pria itu saja yang berlalu-lalang di timeline WhatsApp dan Instagram Calandra. Tidak ada balasan ketika Calandra membuat stories dari pemuda itu, hanya sebatas viewer stories.

Mata gadis itu masih fokus melamun, menatapi tembok kamarnya yang berwarna putih, berukuran tidak besar dan bertema monokrom. Pikirannya masih menerka-nerka dan menghubungkan tiap kejadian yang telah berlalu di lima bulan kemarin. Belum ada air mata yang menetes. Calandra seperti patung, walaupun ia masih dapat mengedipkan mata. Raganya masih tetap berada di kamar, jiwanya seperti sedang berterbangan dan menerobos ruang waku antara bulan Juli hingga September Kemampuan menganalisis dan interpretasinya kali ini benar-benar ia gunakan secara penuh.

Dahulu, ketika pria itu datang untuk yang pertama kali di hidupnya, ia merasa pria itu adalah orang yang tepat sebagai penyembuh dari luka-luka yang belum kering. Luka hati dari yang terdahulu hingga yang kemarin, kisah cinta dengan pola yang selalu sama dan berakhir na’as. Kedatangan pria itu mengubah sedu sedan Calandra menjadi penuh harapan. Malam itu mereka malakukan deep-talk melalui WhatsApp. Calandra bersama kisahnya, pria itu bersama kisahnya.

Calandra bercerita dengan syahdu, memaparkan kisah sedihnya di masa lalu, tentang percintaan, pertemanan, orang-orang di sekitarnya dan kehidupan perkuliahan di semester limanya. Pria itu memahami dengan sengat betul, sebagimana jobdesc-nya. Ia memberikan balasan panjang yang membuat Calandra menitikan air mata. Balasan yang diberikan pria itu membuat Calandra merasa dimengerti di tengah-tengah dunia dan orang-orang yang tidak paham mengenai dirinya. Calandra merasa menemukan penawar dari luka dirinya. Calandra merasa aman, seperti dikasihi, disayangi selayaknya anak kecil dan pria itu adalah seorang ayah.

Saat itu, pikirannya sempat ber-positive thinking mengenai munculnya tanda-tanda pria tersebut yang mulai menghilang dan kemudian datang kembali di pertengahan bulan Agustus. Pikirnya, karena memang ia sedang sibuk. Apalagi predikat yang diampu oleh pria itu saat ini adalah sebagai mahasiswa pascasarjana di jurusan Psikologi. Di samping itu, ia juga sedang menyambi dengan bisnis sepatu yang dimilikinya. Pasti dia sibuk kuliah apalagi bisnisnya, gumam Calandra saat itu.

Calandra mempertanyakan dalam benaknya mengenai kepergian pemuda itu. Gadis itu terlalu takut dan tidak enak untuk sekadar bertanya kabar, sebab Calandra tahu selain kuliah dan berbisnis, kegiatan pria itu adalah belajar. Jelas, Calandra bisa simpulkan dari kegiatan deep-talk yang sering mereka lakukan bersama pria itu. Tidak menutup kemungkinan bahwa kebenarannya memang seratus persen. Namun, waktu berlanjut, pria itu perlahan mulai menghilang dan datang lagi. Kemudian, hilang ... dan hilang.

Belakangan kemarin Calandra sedang berada di fase denial mengenai keberadaan pria itu yang hilang namun terkadang sewaktu-waktu bisa datang dengan tiba-tiba menelpon Calandra. Sudah sebulan berlalu juga tidak ada tanda-tanda kedatangan pria itu lagi. Hati gadis itu belum bisa menerima bahwa pria yang selama tiga bulan terakhir tiba-tiba saja memutuskan komunikasi tanpa babibu.

Calandra masih yakin suatu hari nanti pria itu akan menghubunginya lagi dan membuktikan seluruh ucapan yang pernah dikatakan. Tentang janji akan makan makanan Korea jika ada waktu senggang, ucapan yang menjanjikan di masa depan antara mereka berdua. Ucapan-ucapan yang meyakinkan itu membuat Calandra bersama angan-angannya terbang melayang.

Ketika perasaan denial itu muncul, ia langsung mengingat seluruh perkataan pria itu. Calandra yakin pria itu sungguhan. Bagaimana tidak? Satu, Calandra percaya kepada pria itu karena ia lebih dewasa tiga tahun daripada usianya. Yang mana orang yang lebih dewasa biasanya sudah tidak mempunyai pikiran seperti remaja lagi yang hobi ‘main-main.’ Kedua, pemuda itu sudah terang-terangan mengatakan bahwa dia menyukai Calandra. Ketiga, pria itu satu-satunya orang yang Calandra rasa dapat mengerti dirinya dan emosinya. Dan yang terakhir, dia adalah pria yang cerdas.

Jelas, secara dia lebih dewasa dan cerdas tentunya akan lebih mengerti mengenai perasaan seseorang dan bisa lebih menghargai serta dapat membedakan yang mana yang baik dan buruk. Tahu mana yang dapat menyakitkan hati seseorang dan yang mana tidak. Calandra percaya sepenuhnya kepada pria itu.

Namun, Calandra sudah sampai di titik yang mana pemuda itu benar-benar tidak menghubunginya lagi. Hingga hari ini. Menyadari semua yang telah terjadi dan berlalu hanya benar-benar sebatas omong kosong. Setengah jam gadis itu melamun dan berdiam diri, memutar rekaman dari awal sekali saat bersama pria itu. Menyenangkan, penuh kasih sayang, hangat, lembut.

Calandra merasa sangat dicintai oleh orang yang tepat. Namun, hari ini tatapan penuh emosi gadis itu berubah menjadi bulir air yang berjatuhan deras dari pelupuk matanya. Air matanya tumpah juga. Hatinya nyeri lagi. Sesak napasnya menyelimuti berbarengan dengan air mata yang jatuh.

Calandra memeluk bantal guling sangat erat dan menangis sejadinya. Ia tak pernah mengira bahwa hal seperti ini akan terjadi lagi. Ia sudah terlalu lelah untuk patah hati. Terlalu sakit dalam kisah cinta yang berakhir dengan pola yang sama. Hatinya sudah luka berkali-kali. Seandainya dapat dilihat dengan mata telanjang, mungkin sudah lebam, membiru, robek, perih dan belum sembuh sama sekali. Pria itu datang dan Calandra berharap ia membawakan penawar untuk membuat lukanya membaik.

Calandra salah.

Pria itu datang malah memperparah lukanya. Ia malah merobek seluruh hatinya.

Calandra yang belum sembuh, berharap akan disembuhkan, nyatanya malah membuat luka lebih dan membuat trauma. Sekian purnama menantikan hari bahagia mengenai lukanya sembuh, menjalani hari-hari dengan trust issue yang dimilikinya.

Patah hati ke patah hati, harapan mengenai sembuh, membayangkan hari-hari tanpa menangis lagi. Tidak adalagi di tengah malam memutar lagu favoritnya sambil menangis. Namun, Calandra salah. Menaruh harapan pada manusia lagi. Berharap pada seorang untuk menyembuhkan lukanya lagi. Ia tak akan menyangka kejadian ini terjadi lagi.

Calandra patah hati lagi.

Stages of GriefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang