Sebulan berlalu, perlahan Calandra merasakan perasaan yang berbeda di tiap harinya. Perasaan yang tidak bisa dijelaskan, tetapi rasanya juga tak mengenakan dan silih berganti. Tak karuan. Calandra sendiri tak bisa mendeteksi.
Hari itu tidak terlalu banyak kegiatan dan hanya ada kegiatan membereskan rumah saja. Tugas-tugas perkuliahannya sudah beres dikerjakan. Semester dengan jumlah SKS yang sangat sedikit, membuat Calandra yang biasanya bersyukur kini malah memaki sendiri. Merutuki kondisinya saat ini, ia merasa semua ini datang di saat yang tidak tepat.
Malam hari di kala orang-orang mulai terlelap tidur. Calandra paling benci saat-saat seperti ini. Di kala orang-orang menginginkan waktu senggang untuk beristirahat atau sekadar me time, justru Calandra malah membencinya. Di saat ia memiliki waktu senggang dan minim kegiatan, pikiran Calandra terdistraksi kembali mengenai patah hatinya.
Pikirannya kembali memikirkan detail-detail kejadian lalu yang tak sempat ia pikirkan sebelumnya. Seolah ada ruang waktu dan dimensi lain yang kembali menarik Calandra untuk menelusuri tiap-tiap kejadian dahulu. Menyaksikan kembali, merasakan kembali. Pikirannya berlarian kemana-mana dan dadanya kembali bergejolak.
Kondisi Calandra belum sepenuhnya baik daripada kemarin. Terkadang di hatinya ada rasa yang tiba-tiba menyelekit seperti digigit semut. Terkadang juga nyeri yang tiba-tiba datang, rasanya mirip seperti tersetrum. Mood-nya belum sepenuhnya baik. Seperti saat ini.
Di layar televisi, saat SpongeBob berhasil membuat lelucon dengan Patrick, keduanya tertawa, tetapi Calandra yang menyaksikan dengan tatapan mata fokus hanya merespon dengan datar, sebab pikirannya tidak berada di film tersebut. Tak ada respon apa-apa. Kejadian ini kembali terulang persis seperti saat itu, saat ia menjadi patung dengan pikiran yang sedang menerobos masuk ke masa lalu.
Calandra masih tidak menerima ini terjadi.
"Pembohong!" gumam gadis itu diikuti air mata yang menetes beberapa kali. Kejadian itu berhasil terputar dan men-trigger dirinya.
Di beberapa detik kemudian, air matanya menderas dan jarinya memencet tombol merah remot yang berada di tangannya untuk mematikan siarannya. Gadis itu beranjak meraih earphone putih yang berada tidak jauh di sampingnya, kemudian menyetel musik favorit ia dan Arjuna dahulu.
Sambil mendengarkan lagu, ia menangis tersedu tanpa suara. Calandra menyalahkan dan memaki pria itu di dalam hatinya mengenai semua yang terjadi. Ia marah betul. Jika seseorang dapat melihat kondisi hatinya, maka ia akan melihat api di sana.
"Jahat. Lo pembohong! Gabut lo parah banget. Gue nggak nyangka. Friendly ke semua orang, memperlakukan hal yang sama ke perempuan lain. Cuma main-main, nggak serius. Keterlaluan!" dengan napas terengah Calandra berteriak sambil menahan sesak.
Air matanya sudah tak bisa dikontrol berapa banyak yang jatuh sehingga air mata membanjiri wajahnya.
Pikiran gadis itu mengingat obrolan malam hari dengan pemuda itu. Tentang Arjun yang bercerita mengenai ketakutannya dan ketidakberaniannya terhadap mantan pacarnya yang mana mereka telah menjalin hubungan selama tiga tahun, tetapi kandas. Perempuan itu menikah dengan orang lain.
Calandra yang mendengarkan ceritanya dengan seksama dapat menyimpulkan, bahwa selama mereka berpacaran tidak ada tanda-tanda keberanian Arjun terhadap perempuannya untuk ke jenjang serius. Harusnya, dengan notabene orang dewasa yang telah menjalin hubungan lama, setidaknya pihak keluarga satu sama lain sudah saling mengenal.
Jangankan itu, setidaknya Arjun tahu orang tuanya si perempuan untuk sekadar bersilaturahmi. Namun, saat itu Calandra tak punya pemikiran panjang, hanya mengiyakan saja.
Yang harusnya saat itu Calandra paham bahwa itu adalah sebuah sign untuk gadis itu tidak menaruh harapan yang terlalu jauh kepada Arjuna, bahwa hal itu bisa saja terjadi di hari-hari berikutnya dengan orang yang berbeda.
"Emang pengecut! Wajar kalau perempuan banyak yang ninggalin lo. Lo terlalu cemen di usia lo yang udah dewasa. Gue benci banget!"
Makian dari mulut Calandra semakin keras tiap kali ingatan itu berhasil terputar dan ada hal yang ia lewatkan dan baru disadari sekarang. Kamar gadis itu kedap suara. Teriakan dan tangisan di malam hari adalah kegiatannya yang sering menjadi rutinitas, tanpa khawatir dan takut didengar oleh orang tuanya.
"Kamu nggak apa-apa, kan, kalo aku cerita soal mantanku?"
"Kamu tipe yang bisa nerima masa lalu seseorang, kan?"
Calandra masih ingat pertanyaan pemuda itu dari sela-sela earphone-nya, saat keduanya sedang mengobrol via WhatsApp call. Dari pertanyaannya, seolah mengisyaratkan bahwa ia akan memberikan masa depan kepada Calandra dan untuk saat itu ia harus bisa menerima masa lalunya.
Apabila seseorang jatuh cinta, maka sejelek apapun perilakuknya, hal tersebut akan berubah menjadi tidak apa-apa.
Banyak pemakluman yang terjadi. Sabab, saat kita bahagia, otak kita akan merekayasa kejadian tersebut dan memaklumi semua perbuatan atau hal-hal yang buruk.
Calandra seperti terbang keluar angkasa. Ucapan-ucapan yang keluar dari mulutnya membuat Calandra seperti mencicipi permen kapas di bulan. Tinggi dan manis.
"Pengecut!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Stages of Grief
Historia CortaKedatangan Arjun di kehidupan Calandra, kiranya akan menjadi penawar luka hatinya. Namun, Calandra salah. Kedatangan Arjun malah memperparah luka hatinya. Lebam, robek, patah, rapuh dan berdarah-darah. Patah berkali-kali, melalui hari-hari berat dan...