Hari demi hari harapan Calandra adalah menjadi lebih baik mengenai kondisi hatinya. Sudah banyak hari-hari yang Calandra habiskan untuk mendistraksi patah hatinya. Apalagi semenjak patah hatinya datang, semua kegiatan terasa tidak mengasyikan. Tentunya dalam kondisi patah hati seperti ini, Calandra jarang sekali untuk memiliki akses pergi-pergi ke luar.
Waktu demi waktu ia habiskan untuk berfokus pada kuliahnya, tidak ada partisipasi di kegiatan lain. Terkadang juga mengiyakan ajakan-ajakan ngopi teman sekolahnya untuk mengusir jenuh juga. Tiga minggu berlalu, Calandra merasa perasaannya jauh lebih dua kali lipat baik daripada kejadian terakhir ia menangis saat menonton film SpongeBob. Calandra mulai belajar mengontrol emosinya, sedih, marah, kecewa, walau ia sendiri tahu, fase ini adalah fase yang sangat Calandra benci.
Patah hati yang kesekian kali. Namun, entah, kali ini lebih terasa damage, berkeping, dan kena mental. Walau hari-hari Calandra kemarin masih banyak mengurung diri dan merasa bahwa dunia terlalu jahat untuk selalu melakukan ini kepada Calandra. Ia tetap harus menerimanya, enak maupun tidak enak, suka maupun tidak suka.
Belakangan ini Calandra sudah mulai untuk keluar rumah di luar kegiatannya berkuliah. Walau terkadang ia masih belum menjadi dirinya sepenuhnya. Jika sedang berkumpul misalnya, Calandra akan tetap bergabung, bermain serta bercanda dan menjadi dirinya yang hanya 60%, sisanya menjadi pendiam.
Seperti tadi, saat teman-teman kelasnya memutuskan untuk pergi minum kopi di café terbaru. Mungkin dua bulan bagi Calandra adalah waktu yang lama untuk dia menarik diri dari lingkungan teman-temannya sebab patah hati. Kali ini ia habiskan sedikit waktunya untuk main bersama temannya. Namun, saat di perjalanan pulang, semua kembali ke-default. Patah hati, sedih, kecewa, dan marah.
Selama di perjalanan lagi-lagi gadis itu terdistraksi oleh kisahnya bersama Arjuna. Kali ini tidak ada gejolak amarah di hatinya. Pikirannya mencoba mengingat kembali kenangan manisnya. Apalagi ingatannya yang paling diingat adalah saat itu ketika temannya Arjuna menelpon Calandra dengan menggunakan nomor telpon Arjuna. Begitu diangkat oleh Calandra bukan suara yang biasa ia dengar. Seorang pemuda dengan suara yang lebih berat. Calandra kebingungan apakah dia salah sambung atau bagaimana. Ia bertanya untuk memastikan kemanakah Arjuna dan dirinya siapa.
"Lo Calandra, kan? Semester lima, alumni SMA Kartika."
Calandra mengernyit, bagaimana pemuda itu bisa tahu.
"Iya lah. Lo lagi dekat, kan, sama Arjun?"
Calandra berusaha mengelak saat pertanyaan itu diajukan, ia tidak mau berbicara sepenuhnya, takut pemuda itu bohong dan ternyata Arjuna ada di sebelahnya alias setting-an.
"Ajun lagi nggak ada di sini, dia di belakang lagi baca-baca jurnal buat tesis S2-nya."
Calandra berargumen lagi, ingin memastikan bahwa semua pertanyaan yang diajukan pemuda itu adalah pertanyaan yang sengaja disiapkan oleh Arjun dan temannya yang menelpon ini adalah sebenarnya akal-akalan Arjun saja untuk menjebak Calandra.
"Nih, ya, asal lo tau. Arjuna tuh sering cerita ke gue, dan dia tuh jarang banget cerita perempuan ke gue sampai detail."
Calandra berargumen lagi, bahwa dari cerita-cerita Arjun yang dapat Calandra simpulkan adalah banyak perempuan yang dekat dengannya, bukan cuma Calandra.
"Jangan salah, lho. Emang, Arjun chat-an sama banyak cewek. Tapi, kan, dekat sama chat-an doang beda. Udah, deh, ngaku aja. Lagi dekat, kan lo sama Arjun?"
Di atas motor Calandra yang sedang melaju, bibir gadis itu melengkungkan senyum. Hati kecilnya berharap temannya Arjun adalah benar, bahwa Arjun memang pernah menceritakan dirinya ke temannya. Ada rasa rindu dan juga kosong di hatinya. Tapi, yang pasti emosinya kali ini tidak semeledak kemarin.
Memori yang berputar juga bukan mengenai kenangan yang menyakitkan. Kali ini lebih tenang dan hanya mendung di hatinya. Apakah ini salah satu obat dari patah hatinya agar reda dengan mengingat hal-hal manis, bukan kah hal itu tambah membuatnya semakin sakit. Calandra tidak bisa mengusir pikirannya saat ini.
Kenangan terus berputar di kepala. Rindu dan sedih menjadi satu. Calandra tidak bisa apa-apa, ia hanya bisa memutar kenangan itu dan tidak bisa menyentuhnya kembali.
Suatu ketika Calandra ingat, saat Arjuna menelponnya pukul sebelas siang. Mereka bermain game tebak-tebakan dan yang kalah harus melakukan perintah dari si pemenang. Calandra sangat menikmatinya, senyum tak henti-hentinya terpampang di wajahnya. Canda tawa hari itu mengisi seruangan kamar. Seperti hari bahagia sedunia. Tiba sampai di mana Arjun memberikan Calandra sebuah jokes, namun hal itu tidak berhasil membuat Calandra tertawa dan membuat Arjuna mengernyit heran.
"Udah makan belum, sih?"
Tentu saja jawabannya belum. Sarapan bukanlah hobi Calandra.
"Pantesan aja lola. Sarapan tuh penting, karena waktu pagi hari adalah waktu terbaik buat mikir, maka harus punya tenaga."
Calandra berkendara tanpa semangat, kendarannya yang melaju jadi melambat, matanya mulai berkaca-kaca. Dengan atribut lengkap dalam berkendara, Calandra selalu menggunakan helm dan masker. Hal dua ini adalah salah satu kewajiban untuknya, agar ketika ia sedang bergumam dan berbicara sendiri di atas motor tidak ada yang melihatnya. Kenangan itu jelas terputar di kepalanya, ia jadi merutuki diri.
"Kalau aja hari itu gue bisa ngerti sama jokes dia, mungkin kita masih komunikasi dan gue bakal dinilai asik."
"Kalau aja tiap dia ngejelasin hal-hal yang nggak gue tahu, gue bisa kasih pertanyaan yang kritis yang bikin gue dinilai pinter, mungkin obrolan kita bisa sampai diskusi hari ini."
Air mata gadis itu turun dan jatuh berkali-kali. Pandangannya agak memburam sebab dipenuhi tumpukan air mata. Beberapa kali tangan kirinya berusaha menyeka agar tidak jatuh dan membuat buram pandangan selama di atas kendaraan. Calandra menyesali perbuatan-perbuatan kecil yang mungkin menurutnya itu adalah penyebab Arjun pergi begitu saja. Hatinya sesak, kesedihannya kali ini lebih besar untuk menyedihkan dirinya sendiri. Merutuki kesalahannya dan berharap waktu bisa diputar, atau jika tidak berharap Arjuna akan datang kembali lagi kepadanya.
"Tuhan, kalau dia datang lagi, gue janji buat banyak tanya hal-hal kritis ke dia, atau setidaknya gue mau jadi lebih asik dari sebelumnya. Asal dia jangan pergi. Plaese, God!"
TIINNNN!!
Suara klakson panjang mengagetkan Calandra dalam lamunannya. Dia oleng akibat melamun. Calandra langsung mengontrol laju kendarannya agar lebih menepi. Wajahnya sudah dipenuhi air mata, maskernya juga sudah basah, banjir air mata melanda wajahnya. Ia selalu berharap Tuhan punya keajaiban untuk mendatangkan Arjun kembali dan ini hanya mimpi semata.
Calandra berjanji, jika Arjun datang kembali, Calandra akan berubah jadi lebih baik, seperti menjadi partner diskusi yang baik, agar ia tidak hanya sebatas pendengar. Calandra berjanji untuk lebih aktif dan tanggap merespon candaan Arjun, ia juga berjanji untuk menjadi lebih lucu dari sebelumnya.
Sore itu, dalam perjalanan pulang menuju rumah, di atas kendarannya yang sedang melaju. Calandra sedang tawar menawar dengan Tuhan agar Arjun kembali lagi dan Calandra berjanji menjadi lebih baik dari sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stages of Grief
Short StoryKedatangan Arjun di kehidupan Calandra, kiranya akan menjadi penawar luka hatinya. Namun, Calandra salah. Kedatangan Arjun malah memperparah luka hatinya. Lebam, robek, patah, rapuh dan berdarah-darah. Patah berkali-kali, melalui hari-hari berat dan...