6. Depression: Why am I Always Like This?

8 1 0
                                    

Minggu-minggu selanjutnya, Calandra bersama dengan kegiatannya: kuliah, rapat, bertemu teman-teman dan pulang. Repeat on. Setidaknya patah hatinya sudah lebih baik dan mereda daripada kemarin. Ia tahu ini akan cepat berakhir jika dirinya melakukan sebuah usaha lebih juga, dan ia juga ingin semua ini cepat selesai. Ingin merasakan kembali hari-harinya yang tenang, damai, dan berjalan lancar. Belakangan kemarin ia merasakan bahagia yang tiada tara sebab kehadiran Arjun, tetapi rasa bahagia itu selalu dihantui rasa was-was, dan Calandra tidak tenang mengenai itu.

Baginya, kini lebih baik kesepian yang tenang daripada bahagia yang takut.

Calandra ingin hari-hari normalnya kembali, hari-hari yang membosankan tapia da rasa tenang dan nyaman di dalamnya. Memang betul seperti yang dikatakan Selena Gomez dalam lirik lagunya tertulis, cinta dan rasa sakit adalah hal yang setara, tak terpisahkan. Maka, ketika ada bahagia, siap-siap setelahnya ada kesedihan.

Bahagia secukupnya, agar saat terjadi hal-hal yang di luar ekspektasi maka sedih pun menjadi secukupnya.

Apalagi mencari kebahagiaan di orang lain, bergantung dan berharap seseorang akan menyembuhkan lukanya. Kini, Calandra sadar itu adalah hal yang salah. Saat semua orang anak pergi, maka yang akan tetap tinggal adalah diri sendiri.

Kini waktunya Calandra berbenah diri, menerima, memaafkan dan memulai kembali semuanya. Namun, itu tidak mudah. Banyak cara yang sedang ia usahakan agar menjadi seperti sedia kala.

Hari ini dirinya pergi ke café rekomendasi Rara mengingat obrolan di rapat kemarin. Ya, gadis itu pergi sendirian. Sengaja. Pikir Calandra, mungkin pergi ke café sendirian adalah salah satu caran untuk dapat healing sekaligus me time. Gadis itu sudah dari tadi menikmati hot latte yang mulai mendingin, croffle tersisa satu. Ingin memesan menu andalan di sini tetapi perutnya sudah menolak.

Sebelum berangkat ke sini Calandra sempat makan siang terlebih dahulu di kampus. Kesendiriannya kali ini tidak melahirkan kenangan atau cerita yang membuatnya terlintas di kepala. Salah satu hal yang Calandra syukuri sebab energi dan emosinya tidak habis dilahap kenangan tersebut. Hatinya bergeming.

Apakah ini sebuah tanda bahwa ia akan baik-baik saja?

Pandangannya beralih kepada pengunjung yang ramai-ramai duduk memenuhi ruangan. Tak banyak matanya menangkap pengunjung yang datang sendiri. Mungkin hanya ada dua orang, satunya adalah Calandra.

Melihat muda-mudi tertawa bersama pasangannya, ada yang saling tatap saat mereka mengobrol serius. Beberapa yang lain sedang selfie dengan posisi saling bersisian, menebar senyum ke arah kamera dan senyum yang terpampang dapat disaksikan oleh para penumpang lain. Ada pengunjung lain yang datang sambil menggandeng tangan pasangannya.

Calandra tersenyum tipis menyaksikan semua itu, tetapi hatinya seperti teriris. Alih-alih menghilangkan distraksi, jarinya membuka aplikasi kotak yang biasa Calandra meng-upload foto di sana. Menggeser story demi story, hanya ada menemukan foto berdua dengan pasangannya. Ada apa dengan semuanya. Mood-nya tiba-tiba hilang begitu saja. Menghabiskan sisa croffle dan latte-nya kemudian bergegas melangkahkan kaki keluar café.

Tiba-tiba mood-nya memburuk. Bukan karena kenangan itu kembali terlintas. Namun, menyaksikan semua orang dapat bahagia, mengapa tidak dengan dirinya. Gadis itu bersiap-siap pulang dengan motornya. Persiapan berkendaranya sudah beres. Selama di perjalanan, gadis itu menangis tersedu tanpa suara, hanya air matanya yang menderas hingga membasahi pipi.

Calandra merasa dunia tidak adil, Tuhan jahat. Kalau semua orang bisa bahagia, mengapa ia satu-satunya yang paling sedih. Merasa seolah dunia tidak berpihak padanya. Kenapa selalu Calandra yang mengalami patah hati ini.

"Kenapa gue terus? Kenapa sih siklusnya selalu kayak gini? Gue mau bahagia juga kayak mereka. Gampang dapetin apa yang mereka mau, gampang dapatin bahagia lewat pasangannya. Tapi, kenapa gue nggak?! Patah berkali-kali, seolah-olah gue senang sama hal ini. Nggak, anjing!" maki gadis itu dengan suara yang hanya ia bisa dengar. Masker di wajahnya sudah lepek karena air mata.

"Capek tahu nggak, sih. Berkali-kali gue kayak gini. Kenapa Tuhan nggak bisa ngasih bahagia lewat gue punya pacar?! Kenapa selalu berujung kayak gini? Gue juga berhak bahagia, kan? Ayolah, Tuhan. Apa nggak ada orang yang cinta sama gue? Mereka semua itu cuma penasaran, bukan cinta. Tapi, kapan gitu, lho, gue bisa nemuin bahagia itu. Kapan?!!!"

Nada suaranya meninggi, Calandra tak peduli ada orang yang melihatnya sambil menangis dan memaki di jalan. Ia sudah tak peduli dengan semua hal. Calandra menilai semua orang yang pergi adalah jahat. Merampas begitu saja kebahagiaannya, meninggalkan luka tanpa tanggung jawab. Kepalanya sudah pusing akibat menangis berkepanjangan. Sampai di rumah, tanpa babibu dan fafifu ia langsung masuk ke kamar, matanya bengap.

Stages of GriefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang