Sang surya mulai menyingsing sinarnya, membiaskan cahaya tepat pada lapisan bening yang berada di kamar nuansa monokrom milik seorang gadis. Pantulannya menembus gorden putih hingga meninggalkan jejak hangat di lantai, dan kehangatan itu menjalar ke tubuh seluruh penghuni ruangan. Andai saja bingkai foto yang ada di dinding itu bernapas, dia pasti akan berterima kasih pada Tuhan. Begitu pun dengan tanaman kecil nan mungil yang duduk di meja, dia tengah tersenyum dan memekarkan bunganya. Dunia pagi begitu indah bagi mereka yang menantikan kehidupan. Perlahan, cahaya lain menyusul menembus lapisan bening di sekitarnya, membuat kamar yang terlihat mati suri itu menjadi lebih cerah dan hidup.
Pemilik jiwa antara hidup dan mati bergerak di atas ranjang. Seorang gadis mengibaskan selimut dan membiarkan kehangatan menyelimuti tubuh kurusnya. Wajah gadis masih pucat, kepalanya dirasa sakit saat hendak mendudukkan diri di atas kasur. Dengan sisa tenaga, dia berusaha mengumpulkan nyawa agar bisa menurunkan kaki dan menopang tubuhnya yang akan sempoyongan. Sebenarnya dia belum sepenuhnya pulih dari malaise, tetapi dia harus sekolah karena hari ini adalah hari pertama masuk setelah libur semester empat berakhir, dan dia tidak ingin melewatkan waktu yang baginya sangat berharga.
Setelah meminum air putih, dia membelokkan tubuh bagian atas ke kanan dan kiri, begitu pun dengan anggota tubuh lainnya, dia selalu melakukan pemanasan ringan setiap bangun tidur. Sakit tidak membuatnya malas berolahraga, walau itu hanya sebentar.
Tiba-tiba pintu terbuka, memperlihatkan satu wanita dewasa yang berdiri anggun di ambang pintu. Dia memakai kemeja mauve berbahan katun yang dipadupadankan dengan celana kulot hitam, rambutnya yang tergerai manja menambah kesan elegan. Dia adalah Rena, wanita yang telah melahirkan gadis itu. Rena menghampiri anak semata wayangnya sambil tersenyum.
“Kiki, sudah bangun, Sayang. Bagaimana keadaanmu?” tanyanya saat berada di samping gadis bernama Kiki.
“Not bad,” jawab Kiki tanpa menatap Rena. Matanya berpaling ke arah cermin.
“Tapi, Mama khawatir, wajahmu masih pucat. Tidak masalah kalau hari ini kamu tidak masuk sekolah.”
“Itu urusanku.”
Ucapan sang anak dengan intonasi cepat dan datar itu cukup memekikkan hati Rena. Dia memahami apa yang harus dilakukannya saat Kiki berkata dengan nada yang demikian—lelah dan putus asa. Rena tidak ingin membuat anaknya semakin sulit, karena itu dia mengalah.
“Baik, Mama paham.”
Sang Mama terdiam, sesuatu menganggu pikirannya. Kiki mengetahui dari cermin bahwa Rena tengah mengangkat tangan kanannya dengan hati-hati.
“Rambutmu ….” Ibu malang itu hendak mengusap kepala anaknya, tetapi dengan cepat Kiki mencegahnya.
“Bisa pergi sekarang? Aku harus bersiap-siap,” pinta Kiki dengan nada sinis.
“Hemm, oke. Mama tunggu di bawah, kita sarapan bersama, ya.”
Kiki tak menjawab, Rena mulai berjalan ke arah pintu. Sebelum menutup pintu, dia kembali menatap anaknya dengan perasaan hancur. Kiki menyadari tatapan itu, dia hanya pura-pura mengabaikannya.
“Ternyata suara itu tidak pernah berubah, tetap sendu dan menyedihkan,” gumam Kiki.
Kiki segera menepis bayangan wajah Rena di pikirannya, dia mengambil ponsel yang tergeletak di nakas, kemudian mengetik sebuah pesan untuk dikirim ke seseorang yang dia save dengan nama monokrom.
Hei, rasanya aku ingin tertawa. Apa ini, hah? Setelah membuatku malaise, kamu diam saja? Sungguh, sedikit pun tidak merasa berdosa ya, Anda?
Setelah pesan itu terkirim, netra Kiki tak sengaja menangkap satu benda yang menarik perhatiannya karena benda itu paling bersinar di kamar. Dia berjalan ke arah kaktus mungil yang duduk di atas meja belajar dan menyentuhnya, kaktus jenis atrophytum itu tengah berbunga. Senyum Kiki mengembang.
“Cantik sekali.”
***
Selesai berdandan, Kiki menatap dirinya di depan cermin, potongan rambut sebahu tanpa poni membuat wajahnya terlihat lebih tirus, memang tidak ada yang salah dengan hair style-nya. Namun, Kiki masih menganggap ini belum berhasil. Walaupun tahu, mengubah penampilan tidak akan membuat kehidupannya berubah, setidaknya dia masih mempunyai ambisi dan semangat untuk meraih impiannya. Ya, dia sengaja memilih hair style yang tidak terlalu feminin karena hanya ingin dilihat sebagai gadis dingin dan ambisius, seperti monokrom.
Setelah lama bergeming, Kiki segera melangkah menuju meja makan, menemui dua orang dewasa yang katanya sangat menyayangi dirinya. Saat menuruni anak tangga pertama, Kiki berhenti sejenak. Dia mendengar jelas gaduhan dari arah dapur, suara gaduh itu bukan disebabkan perang dengan peralatan dapur, bukan terdengar seperti dentingan atau letupan telor ceplok yang digoreng. Itu suara gaduhan yang sangat dibenci Kiki.
“Semalam kamu ke mana, Mas? Aku tahu pekerjaanmu selesai tidak sampai jam dua pagi. Bahkan jika lembur pun pasti akan pulang jam sebelas malam. Tapi kamu? Tiba di rumah saat fajar menyingsing!” Rena menekankan kata menyingsing yang membuat bulu halus Kiki bergidik ngeri.
“Hei, diam kamu! Jangan meneriaki suamimu!” ucap pria itu dengan tegas dan terdengar mengggertak. Pria yang suka menggertak itu tak lain adalah Hendra, yang berperan sebagai papa Kiki.
Merasa muak, Kiki mengeluarkan buku catatannya yang ada di tas lalu melemparkannya dengan sengaja. Buku itu jatuh tepat di anak tangga paling bawah. Kemudian Kiki melanjutkan langkah dan mengambil buku miliknya.
Dua orang dewasa itu menatap Kiki satu detik. Kiki melihat Rena melemparkan senyum, sedangkan Hendra kembali duduk. Kiki berjalan ke kursinya tanpa membalas senyum Rena atau menyapa Hendra.
“Mau nasi goreng atau roti selai kacang, Ra?” tanya Rena sambil menyodorkan piring. Ra, panggilan orang rumah kepada Kiki. Sepertinya pertengkaran tadi membuat Rena melupakan satu permintaan Kiki.
“Aku bisa ambil sendiri …,” ucap Kiki terdengar menggantung ucapannya. “Dan, berhenti panggil aku Ra. Aku benci panggilan itu!” lanjut Kiki dengan kasar. Dia mengambil piring yang dipegang mamanya.
Rena mengangguk dan tetap melempar senyum kepada Kiki.
“Besok Papa kerja di luar kota selama satu minggu. Papa harap kamu bisa jaga sikapmu,” ucap Hendra dengan menuding garpu meja ke arah Kiki. Rena terlihat tidak suka.
“Mas, jangan nuding Kiki seperti itu.” Melihat tatapan istrinya, Hendra menurunkan tangan dan kembali melanjutkan sarapannya.
“Suara gaduh setiap pagi itu sangat jelas.” Kiki mulai mengambil selembar roti dan mengoleskan selai kacang di atasnya. “Aku sudah tahu, orang tua.”
“Kiki!” teriak Hendra.
Kiki mendengus. “Aku yakin kalian tahu, pertengkaran kalian sangat mengganggu konsentrasiku belajar!”
Hendra masih menatap tajam ke arah anaknya, lalu tertawa. “Terserah kamu, anak kecil.”
“Mas, enough!” gertak Rena.
“Oke, sudah.” Hendra mengangkat kedua tangannya dan pergi meninggalkan meja makan. Rena mengabaikan punggung suaminya yang semakin jauh.
“Sayang, Mama akan dukung apa pun keinginanmu, lanjutkan itu, Mama percaya kamu sudah dewasa dan bisa menentukan pilihanmu sendiri,” ucap Rena dengan menggenggam tangan kanan Kiki.
“Apaan, sih.” Kiki melepaskan genggaman tangan Rena dan mulai menggigit rotinya.
Rena mengakui, meja makan keluarga Danurdara selalu terasa dingin dari suhu terendah sekalipun.