9. Acceptance: I Lost Him, but I Found Me

16 1 0
                                    

Malam ini adalah malam terakhir acara. Semua perserta sudah diperintahkan untuk tidur dan untuk persiapan esok pagi berbenah pulang. Semua panita sudah mulai santai dari jobdesc-nya. Beberapa juga ada yang masih berkumpul dan mengobrol, beberapa lagi sudah terlelap tidur, yang lainnya membereskan yang sekiranya perlu dibereskan. Calandra yang juga sudah tidak ada jobdesc, dirinya memisahkan diri ke dataran tinggi yang lokasinya di belakang venue.

Pukul setengah sebelas malam, gadis itu memisahkan diri demi ingin melihat bintang dan lampu-lampu yang berasal dari rumah warga jika dilihat dari ketinggian tampak seperti bintang. Calandra sangat suka. Sambil bersandar di lutut yang ditopang telapak tangannya.

Hatinya tenang dan damai. Calandra lupa kapan terakhir kali ia merasa seperti ini, tanpa rasa cemas dan takut yang telah lama menghantui. Calandra juga tidak tahu kapan terakhir kali ia bisa memahami dirinya. Calandra juga baru sadar selama ini ia suka dilibatkan dalam kegiatan. Calandra juga baru sadar dirinya bisa bertanggung jawaban di setiap amanah yang diemban.

Apalagi, Calandra juga baru tahu ia suka menyendiri dam melihat kelap-kelip dari atas ini. Calandra baru sadar, hal-hal kecil yang sering ia lupakan, bisa jadi hal tersebut adalah kesukaannya.

Kepergian Arjun membuat Calandra jadi mengenal dirinya, potensinya, kesukannya, kekutannya, kelemahannya. Dirinya tak berharap lagi Arjun akan kembali. Memang sudah waktunya, orang-orang datang dan pergi sambil memberikan pelajaran yang tak terhingga. Bahkan Calandra sendiri bisa belajar dari hal-hal kecil darinya, seperti untuk sarapan saat pagi dan pakai helm saat berkendara yang jauh dan tidak terlalu jauh. Gadis itu menarik napas, berusaha untuk tidak menangis. Hanya saja air mata itu mulai berjalan dari sudut matanya.

Krusuk. Krusuk.

Terdengar langkah seseorang yang berasal dari belakang, seperti langkah yang menginjak rumput.

Krusuk.

Suara itu semakin keras dan semakin mendekat. Calandra tertegun dan takut untuk menoleh. Bagaimana kalau tiba-tiba itu hantu? Atau orang jahat yang mencoba membunuhnya.

Krusuk.

“Calandra!”

Gadis itu terpelonjak dan sedikit menjerit.

“Aaaaaaa! Galih, lo bikin gue jantungan.”

Pemuda itu belum tidur ternyata, padahal bilangnya sangat lelah di akhir terakhir ini. Ia malah tertawa keras melihat rekasi terkejut gadis itu lucu.

“Lagian, elo, malam-malam gini ngapain di sini? Yang lain tuh lagi istirahat, tidur, ngobrol. Lo malah sendirian di sini. Diculik tau rasa lo,” kata Galih sambil mengambil posisi di samping Calandra dan duduk berisian dengan tatapan melihat ke pemandangan lampu-lampu seperti bintang.

Healing,” jawab Calandra singkat.

“Halang-hiling. Eh, btw cakep banget kayak kunang-kunang.”

Pemuda itu terkesima melihat pemandangan dari atas sini. Memang, sangat cantik, Calandra juga suka. Gadis itu hanya tersenyum dan mengangguk, diam menikmati. Beberapa menit kemudian keduanya bisu. Tak ada obrolan yang keluar dari mulut keduanya. Calandra yang masih berpikir haruskah ia ceritakan ini. Atau…

“Cal,” panggil pemuda itu dengan suara kecil. Calandra hanya menoleh tanpa suara. Calandra tahu habis ini Galih akan berbicara apa. Calandra juga tahu habis ini ia akan merespon apa.

Still?”

Walau hanya pertanyaan dengan satu kata, tetapi Calandra mengerti maksudnya. Gadis itu menarik napas dalam, sudah waktunya ia bercerita untuk melapangkan dadanya. Jika kemarin Calandra takut bercerita mengenai patah hatinya, ia takut jika tiba-tiba kenangan itu terlintas dan menariknya masuk kedalam lagi. Kali ini, ia berharap semoga selama menceritakan kisahnya kali ini, tidak muncul dan terlintas lagi kenangan di kepalanya. Calandra merasa dirinya sudah sembuh.

Stages of GriefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang