Oᴋᴛᴏʙᴇʀ ɪᴛᴜ bisa dibilang sebagai sebuah permulaan bagaimana Ori—untuk pertama kalinya—terpikat pada teduhnya wajah Naru. Dia bukan lelaki brengsek yang ahli merayu wanita, bukan juga si jutek yang punya tatapan mematikan. Naru adalah Naru, yang dengan sifat pemalunya, senyuman hangatnya, berhasil mencuri atensi Ori yang selalu mati rasa kalau dihadapkan soal cinta.
Namun ini bukan hanya tentang kisah kasih mereka. Mereka tahu karena hujan senja terus mendesah, Naru terhuyung-huyung, darah menetes dari lubang hidungnya, bercak memar di mana-mana, dan dia langsung ambruk. Ori menjerit sejadi-jadinya. Perasaan takut merayapi dadanya. Dipeluknya tubuh Naru yang hampir beku itu sementara dia bergegas memapahnya. Ori jarang menangis, tetapi kali ini air melapisi matanya. Dia terisak saat melihat kepala Naru yang terkulai.
"Naru tahan sebentar, ya. Kita pulang ... kita pulang."
Dan dunia seakan bergeming. []
***
KAMU SEDANG MEMBACA
If We were Flowers
Teen FictionButuh tujuh belas tahun bagi Oriane untuk bertemu Naruna, punya cinta pertama, patah hati perdana, dan melihat dunia dengan bunga. WARNING: This work contains depictions of violent sexual assault, physical abuse, harsh words, and bullying. Reader di...