Prolog

13 0 0
                                    

"Thanks all! Betah-betah ya, kalau gaji udah double jangan lupa kabarin Gue!"

"Kenapa? Lo mau minta traktir?" Kata Dian membereskan kotak pizza yang telah kosong padahal baru kupesan tiga puluh menit yang lalu. 

"Traktir? Nggak, dong. Mau balik lagi maksud gue," ucapku sambil beranjak membawa tas dan membuang tisu di tempat sampah samping kubikel. "Kalau ganti bos jadi ganteng juga boleh, deh, kabarin gue."

"Hati-hati di jalan Jean!" Teriak bosku dari jauh yang sedang ikut menyantap pizza yang kubeli di pintu pantry.

Aku tersenyum dan beranjak ke arah pintu keluar. Tidak bisa lagi aku baca kata-kata "Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda" di bawah AC pintu. Padahal kata-kata itu tidak sejalan dengan prinsipku yang berpikir gagal dan berhasil adalah masalah trial and error. Gagal, kan, sering bikin stuck juga. Bahkan ada yang sampai depresi dan bunuh diri. Berhasil? Dukungan orang belakang kencang, bos! Tapi entah mengapa setiap aku pulang dari kantor pasti selalu melirik tulisan itu.

Aku pulang mengendarai mobilku menuju kos-kosan elit di kawasan Setiabudi. Walau hujan, aku merasa sedikit senang, karena aku bukan lagi  anak consulting pergi pagi pulang jompo. Dua tahun setengah sangat lebih dari cukup untuk berkutat di dunia super gila seperti itu. Ingin tertawa jadinya ketika mengingat saat aku kuliah dulu pernah mengagakan "Being a consultant is once in a lifetime dreamjob that I want to try," Dan memang tidak salah. Once in a lifetime, kan? Walau once-nya dua setengah tahun.

Aku menghetikan mobil di depan gerbang. Aku lihat papan dengan tulisan "Sedang Solat" terpasang. Itu artinya Pak Jarno, alias penjaga kosan sedang tidak bisa membantu membukakan gerbang untukku. Ketika aku hendak mengambil payung, tiba-tiba seorang pria turun dari mobil yang tidak jauh dari mobilku. Dia menghampiriku dan mengetuk kaca mobil.

"Sini Gue bukain! Mana kuncinya?" Gona mengetuk kaca mobilku dan rambutnya yang entah sejak kapan jadi berponi menjadi basah, padahal dia memakai payung. Aku membuka kaca mobil hanya sedikit dan langsung kuberikan kunci gerbangnya.

"Ya, cukup," kata Gona memberi isyarat berhenti. Dia dengan sigap menutup gerbang dan menghampiriku. Aku memasang handbreak, mematikan AC, lampu, radio sambil berpikir karena punya banyak barang dari kantor yang harus diturunkan. Tapi Gona pasti akan banyak bertanya dan aku malas menjelaskan, jadi aku putuskan untuk menemui Gona lebih dulu.

"Hi! Ngapain Lo ke sini, Gon?" tanyaku yang sedikit terkejut karena kami memang sudah lama tidak bertemu. Gona memang selalu seperti ini, datang tanpa kabar dan tidak merasa canggung walau aku yang canggung. Sebetulnya bukan canggung, hanya malas. Aku adalah seorang ekstrovert yang merasa malas untuk bersosialisasi dengan orang yang sudah aku kenal lama. Itu sebabnya walau aku senang menemui orang baru, tapi pertemananku tidak ada yang langgeng.

"Gapapa, main aja," katanya tersenyum dengan kedua tangan di saku celana.

"Mau pinjem duit, ya, Lo?" kataku curiga.

"Nope," Dia menggelengkan kepala.

"Mau konsul?"

"Nope."

"Terus?" Aku mengangkat sebelah alisku.

"Mau nengok Lo aja. Gimana kabar Lo, Jean?"

"Alhamdulillah sehat. Dompet tebel, beban lepas. Hari ini Gue resign," ucapku yang pada akhirnya kelepasan memberitahu bahwa aku suda resign. Tapi memang tidak ada gunanya juga bila aku sembunyikan.

Gona yang sedang melepas sneakers dan kaos kakinya menatapku terkejut. Aku tersenyum, meyakinkan dia kalau aku tidak berbohong. Wajahnya membalas, menuntut penjelasan dariku tentang keputusanku ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 09, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Faint WoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang