Liam's POV
Aku memijit keningku yang terasa sakit. Entah sudah berapa gelas yang aku minum malam ini. Suara musik yang kencang berasal dari lantai dansa begitu menggangguku. Wanita di sampingku merangkul pundak ku dengan tangan kanan nya.
"Oh apakah kau oke?" Tanya nya sambil melihat keadaan ku.
Aku tidak oke.
"Aku baik soph. Tak ada yang perlu dikhawatirkan."
"Jadi kau mulai menyukai alkohol?"
Tentu saja tidak.
"Ya aku pikir begitu."
"Bagus."
Dia pun pergi bersama beberapa teman wanita nya ke lantai dansa dan berjoget bersama di sana. Aku hanya memandangnya. Aku tak suka dengan suasana seperti ini. Saat ini kami sedang berada di club malam yang cukup terkenal di bilangan London.
Aku merasakan sesuatu berdenyut di dahiku. Sakitnya tak dapat tertahankan lagi. Aku tak biasa mengonsumsi minuman seperti ini. Dan aku tak akan melakukan ini jika bukan karena dia.
Ya dia. Sophia. Wanita yang aku cintai sepenuh hati. Dan aku yakin ia memiliki perasaan yang sama sepertiku.
Aku kalang kabut sekarang. Tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya aku meninggalkan Sophia bersama dengan temannya dan aku keluar dari club tersebut. Aku melajukan mobilku dalam kecepatan diatas kira-kira.
Ini sudah malam oke. Tidak akan ada mobil yang berjalan-jalan lagi disini. Jadi aku bebas.
Sambil melawan rasa sakitnya, aku tetap menginjak gas dan pergi kembali ke rumah.
***
Aku terbangun dengan kepala masih terasa berat dan kurasa semua bagian badan ku sakit sekali pagi ini. Aku sudah berada di kamarku. Padahal semalam aku tak ingat aku sudah kemari. Ohya. Aku ambruk pada saat membuka pintu semalam. Tak kuat menghadapi rasa sakit ini.
Ya Tuhan.
Sampai kapan aku harus begini?
Aku memaksakan diri untuk duduk di tepi tempat tidur. Rasa sakit itu langsung menyerangku.
"Arrgh!" Aku mengerang dan memegang kepalaku. Frustasi dengan apa yang harus aku hadapi. Aku mendengar suara pintu dibuka. Ternyata itu Zayn.
"Ceritakan padaku apa yang terjadi semalam, liam." Katanya, lalu duduk di samping ku sambil menaruh tangannya di pundak ku.
"Kau tahu? Kau banyak berubah. Apa kau bahagia bersama nya?"Deg
Pertanyaan itu begitu menyudutkanku. Tentu saja aku bahagia bersamanya. Bukankah sudah seharusnya begitu?
"Liam aku tak yakin hubunganmu." Aku sontak menoleh ke arah Zayn yang menyorotkan mata prihatin. "Apa maksudmu Zayn?"
"Ya kau tahu. Kau selalu memaksakan diri untuk membuatnya bahagia meskipun kau menyiksa dirimu sendiri. Tidak kah lebih baik jika kau membicarakan hal itu dengannya?"Aku terdiam. Tak mampu berfikir dengan keadaan seperti ini. Apa mungkin Zayn benar?
"Liam. Cinta itu mengubah orang menjadi lebih baik. Lebih bahagia. Bukan sebaliknya."
Aku ingin meneteskan air mataku sekarang. Ah aku benci saat-saat seperti ini. Jatuh cinta pada orang yang salah.
"Maafkan aku terlalu banyak bicara. Aku hanya peduli padamu liam." Zayn beranjak dari kasurku dan menuju pintu.
"Terimakasih." Aku menggumam pelan. Aku yakin dia hanya tersenyum mendengar balasanku.
Oh ayolah Liam. Kau adalah Daddy Direction. Atur dirimu sendiri!
Astaga aku tak mengerti kenapa keadaan harus seperti ini. Kenapa Sophia selalu begitu? Tak kah ia mengerti keadaan ku yang tak menyukai alkohol?
Tak mau ambil pusing. Aku pun mengambil kunci mobil dan bergegas keluar rumah. The boys menatapku heran ketika aku hanya melewati mereka dan menuju ke pintu depan.
Aku melajukan mobil ku dengan perlahan. Aku harap ini adalah pilihan tepat. Aku malas beragumentasi dengan wanita.
***
Aku membanting pintu mobil dan segera menuju ke ruang tengah. "Liam? Dari mana saja kau?" Louis memandangiku dengan tatapan aneh seolah melihat monster di hadapannya. "Aku putus dengan Sophia." Jelasku sambil duduk diantara Zayn dan Niall.
"What? Apa yang terjadi dengannya man?" Niall berkata sambil terus memakan keripiknya.
"Telan dulu makananmu bodoh. Itu menjijikan." Harry berkata sambil mendengus padanya.
"Yah kau tahu. Dia membuatku berubah dan aku tidak suka akan hal itu. Mungkin kami tidak cocok."Zayn menepuk pundak ku dan tersenyum penuh arti.
"Aku yakin kau akan segera menemukan pengganti yang lebih baik." Katanya.
Ya ku harap begitu.
***
Ellena's POV
Aku mengeluarkan headset dari tas ku dan menyambungkannya di ponsel yang tergeletak di hadapanku. Sekarang kelasku sedang freeclass dan kami tidak diberi satu tugas pun untuk dikerjakan.
Huh.
Untuk apa aku kesekolah kalau freeclass terus? Semua anak kelas ku terlihat senang dengan tidak adanya guru. Segerombolan cewek berkumpul dibelakang kelas dan seringkali berteriak histeris dan tertawa kencang sekali. Oh ayolah man, ini kelas, bukan taman bermain.
Aku mengambil buku dan kamus prancis ku. Sebenarnya aku sudah faseh dalam melafalkan bahasa orang eropa itu. Namun aku terkadang lupa dan ya kupikir aku membutuhkan kamus.
Aku mulai menulis sebuah cerita dalam bahasa Prancis. Menuangkan segala imajinasi ku sekaligus belajar lagi.
***
"Ma ini kesempatan bagus. Bahkan aku lancar berbahasa prancis. Lalu apa yang salah?" Wanita itu terlihat berfikir dan berjalan kesana kemari.
Oh ayolah
Aku memohon dalam hati.
"Mama akan membicarakan ini bersama papa mu terlebih dahulu El. Aku tidak mungkin mengambil keputusan sendiri bukan?"
Mata ku membulat dan menyorotkan harapan.
"Oh ya ma. Tentu mama harus membicarakannya dulu, tapi kumohonn."Ia mengangguk pelan dan tersenyum manis. Di dalam hati ku kurasakan ada kembang api yang menyala-nyala.
Kuharap ini tidak hanya menjadi sekedar harapanku saja.
***