Malam ini sinar rembulan menembus gorden kamarku. Dengan petromak minyak tanah yang ada di kamarku, aku melihat secarik kertas yang dibagikan oleh guruku. Petromak tersebut menyinari kamarku dengan sinar redup tanpa suara. Hening, itulah yang kurasa saat ini. Dinginnya malam sempat menusuk kulit dan membangunkan bulu kudukku. Apakah aku kedinginan atau ketakutan, aku sendiri tak mengetahuinya.
Kertas yang bertuliskan huruf "F" dan tertera angka "54" di pojok kanan atas tersebut kugenggam erat-erat. Bak balon yang ada di lagu balonku ada lima. Tak ingin kulepaskan dan tak ingin kuperlihatkan pada siapapun, bahkan bapak dan ibuku sendiri. Kurasa mereka akan naik darah ketika melihat kertas ini. Itu sudah pasti, apapun yang terjadi. Aku dengan cepat menyembunyikan kertas tersebut ke dalam lemari pakaianku. Kuselipkan kertas tersebut di antara baju-bajuku yang sudah terlipat rapi di dalam lemari.
Aku memang merasa bersalah sudah melakukan hal seperti ini, namun apa boleh buat. Aku tidak ingin membuat bapak dan ibuku menghawatirkanku karena kertas itu. Sungguh, aku tidak ingin bapak kembali naik darah dan dirawat di rumah sakit lagi. Dulu, ketika aku kecil bapak sering memarahiku. Namun suatu ketika, aku mencelakai temanku sendiri dengan cara mendorongnya di halaman rumahku. Ketika bapak melihat hal itu ia membentakku dan meneriakiku di tempat.
Setelah meneriakiku, bapak memegangi dadanya seraya merintih kesakitan. Ia meringis dan tampak seperti menahan sakitnya. Ketika itu, aku yang masih kecil masih belum mengerti apa yang terjadi pada bapak. Namun sekarang aku tahu betul apa yang terjadi pada bapak saat itu. Ternyata bapak menderita hipertensi, atau darah tinggi. Karena itulah aku takut bila hipertensi bapak kambuh lagi.
Aku pun segera mematikan petromak yang ada di kamarku dan menarik selimutku. Mencari kehangatan di tengah dinginnya malam yang senyap. Selimutku malam ini terasa sangat hangat. Bahkan sampai-sampai kukira selimut ini melindungi dari segala kekhawatiranku.
Pagi hari sudah tiba. Matahari sudah mulai tersenyum di ufuk timur. Sinarnya sudah menembus gorden kamarku. Aku langsung menyibakkan selimutku dan beranjak untuk mengambil air untuk mandi. Sebelumnya aku sudah bangun shalat subuh, namun aku kembali tidur dan baru bangun pagi ini.
Aku berpapasan dengan bapak ketika hendak memasuki kamar mandi. Aku hanya berkata, "Pagi, Pak" dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Suara air terdengar bergemericik di kamar mandi. Aku juga berdendang dan bersiul di kamar mandi untuk menghilangkan kekhawatiranku. Kudengar bapak menyalakan motornya di luar rumah. Ibuku yang sedang memasak juga baunya entah bagaimana dapat kucium di kamar mandi.
Setelah mandi, aku bergegas masuk ke kamar dan berganti baju. Memakai seragam sekolah berlambang osis di dada kiri dan bendera merah putih di dada kanan. Memakai celana abu-abu yang halus. Tak lupa aku memakai dasi dengan rapi. Setelah semuanya siap, aku menuju ke meja makan.
"Wiihh, rapi sekali kau, Tegar!" sapa bapak di meja makan yang sedang mengambil nasi dari bakul ke piringnya.
"Iya.. Hahaha.." Jawabku dengan canggung sembari terkekeh kecil.
Aku merasa canggung dan gugup berbicara di depan bapak. Ini pasti akibat dari kertas yang kuterima kemarin. Aku bergegas melahap makananku dan menjawab pertanyaan bapak dengan singkat. Rasanya aku tidak ingin berlama-lama bercengkrama dengan bapak. Aku takut bapak akan mengetahui apa yang kusembunyikan.
Sebelum aku melangkah keluar rumah, bapak yang sedang bersiap untuk berangkat kerja menanyaiku, "Kau ini kenapa? Kok gugup begitu tadi?"
Aku terperanjat mendengar pertanyaan bapak. Aku kebingungan harus menjawab apa. Apakah jujur saja? Apakah sembunyikan saja? Aku memutuskan untuk tetap menyembunyikannya. Mungkin aku seorang anak yang nakal, namun apa boleh buat, hatiku masih belum siap untuk membeberkan kertas yang kusimpan.