3 - Jangan Jadi Pelakor!

171 30 2
                                    

"Since you are a graduate from English department, I'm sure you can speak English well. Could you please explain about yourself and experience in teaching English, especially teaching children?¹"

"Oh, saranghae, Oppa²—"

"Excuse me³?"

Jika bisa, aku memilih untuk menjadi transparan saja ketika aku menginjakkan kaki di kantor pusat Yayasan Republik Ganesha untuk kedua kalinya begitu diberitahu kalau aku lolos tahap wawancara dan micro teaching dua hari lalu. Ini semua gara-gara momen konyol di sesi wawancara yang masih kuingat sampai sekarang. Namun, di sisi lain aku beruntung karena aku sudah berhasil mendapatkan pekerjaan ini.

Selamat tinggal dunia pengangguran.

Selamat datang dunia kerja.

Aku sendiri masih terheran-heran kenapa aku bisa lolos seleksi mengingat performaku yang pasti buruk sekali dua hari lalu. Hingga tadi aku menandatangani kontrak kerja dengan pihak yayasan, aku masih tidak percaya aku berhasil mendapatkan pekerjaan ini dengan usaha yang terbilang cukup mudah. Pun saat aku (dan calon guru lainnya) diberikan pengarahan, aku masih takjub aku akan segera menjadi bagian dari konsorsium Republik Ganesha. Namun, kalau dipikir-pikir lagi mungkin pihak Republik Ganesha menerimaku karena aku mengatakan bahwa aku memiliki pengalaman dalam mengajar dan diperkuat dengan bukti berupa surat rekomendasi dari TK yang kuajar saat aku bekerja paruh waktu di semester akhir dulu meski sarjana pendidikan bukanlah gelar yang kuperoleh.

"Nggak usah dipikirin. Yang penting kamu udah dapet kerjaan di sini. Yah, palingan kamu bakalan sedikit malu sih kalau ketemu sama tim HRD kamu tempo hari apalagi kamu, kan, bakalan kerja di sini seterusnya," ucap Hanny yang lebih terdengar seperti sindiran daripada bujukan pemberi semangat.

Oh ya, Hanny lolos tentu saja. Aku tidak heran kalau dia akhirnya bisa lolos seleksi karena dia agak sedikit perfeksionis. Persiapannya untuk sesi wawancara dua hari yang lalu jauh lebih matang daripada persiapanku. Dan, yah, dia sudah kuberitahu soal kejadian memalukan tempo hari. Oleh sebab itu, dia bisa berkomentar demikian.

"Kamu itu sebenernya lagi nyemangatin apa bikin down sih, Han?" sungutku.

Hanny tersenyum sumir (yang bagiku tampak seperti topeng Guy Fawkes⁴) kemudian melangkah mendahuluiku menuju lobi kantor Yayasan Republik Ganesha, menyapa Anita sang resepsionis, kemudian terus berlalu menuju tempat parkir khusus sepeda motor yang dinaungi oleh pepohonan lebat sehingga hawanya terasa sejuk.

"Astaga, astaga, astaga. Jantungku." Aku memegang dada sebelah kiri begitu melihat siapa yang ada di arah seberangku. Si oppa Korea.

"Kamu kenapa sih?" Hanny melihat ke arahku dengan tatapan bingung.

"Itu …." Aku tak sanggup menyelesaikan kalimatku karena damage⁵ yang dihasilkan oleh pesona si oppa Korea bahkan dari arah yang cukup jauh.

"Apa?" cecar Hanny.

"Itu …."

"Apaan sih, Nis? Apa?" Hanny mengguncang-guncang bahuku.

"Oppa Korea itu—"

"Mana, mana, mana?" Hanny mengedarkan pandangannya.

"Itu …" Aku menunjuk ke arah jam dua belas kami, ke arah tempat parkir khusus roda empat. "Damage yang dihasilkan nggak kira-kira," desahku.

Hanny memicingkan matanya ke arah si oppa Korea. "Oh, itu oppa Korea yang kamu bilang, yang bikin kamu nggak konsen ikut wawancara tempo hari. Yah, selera kamu boleh juga, Nis."

"Boleh juga kamu bilang? Seleraku tuh bagus banget ya bukan cuma sekadar boleh juga," dengusku.

"Iya deh iya. Sekilas dia mirip Park Hae-jin lah."

KADREDA | TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang