Bas bekerja sebagai art director di sebuah agensi di Bandung. Dia baru bekerja dua bulan di agensi itu dan sejauh ini berjalan dengan baik. Bas tipe lelaki yang cepat berbaur, sehingga dia juga cepat akrab dengan pegawai di sana.
Saat ini, pukul dua belas lebih lima belas menit. Bas duduk di kantin gedung bersama Ndari, anak desainer. Keduanya sering menghabiskan waktu bersama ketika bekerja maupun makan siang.
Hari ini pikiran Bas sedikit terganggu dengan sebuah nama yaitu Azura. Keduanya baru bertemu sekali Sabtu lalu di Arunika. Tapi, Azura sudah menarik perhatiannya. Pagi tadi, Bas ke Arunika berharap dia akan bertemu dengan Azura. Sayangnya, sampai matahari benar-benar menampakkan wajahnya, Azura tidak muncul di Arunika.
Ndari menjentikkan tangannya dua kali ke wajah Bas. Bas terkesiap, dia mengulas senyum. Gadis itu tertawa kecil. "Melamun?" tanyanya.
"Sedikit," sahut Bas.
"Lagi mikirin apa, sih?" tanya Ndari. Di antara anggota desainer lainnya, Ndari yang paling akrab dengan Bas. Gadis itu tak segan-segan memperkenalkan diri dan mengakrabkan diri pada Bas di hari pertama Bas datang ke kantor. Setelah itu, setiap ada kesempatan makan siang, Ndari akan mengajak Bas. Seperti sekarang.
"Bukan apa-apa," jawab Bas singkat. Ndari mendengus. Dia sedikit kesal dengan sifat Bas yang acuh tak acuh itu. Jelas-jelas, Ndari menunjukkan rasa ketertarikan pada lelaki itu.
"Jadi, aku nggak boleh tahu, nih?"
"Hem, soal?"
"Yang sedang kamu pikirkan, tentu saja," sahut Ndari.
Ndari memiliki nama lengkap Primandari. Dia sudah bekerja di Digital Agency Lesmana selama tiga tahun. Itu berarti, Ndari sudah bekerja di agensi itu dua tahun setelah agensi terbentuk.
Bas mulai menyendok kuah soto yang dipesannya. Ndari melakukan hal yang sama. Sesekali, Ndari melihat ke arah Bas, memperhatikan cara lelaki itu makan. Yang Ndari tahu, Bas berasal dari Semarang, dia baru pindah ke Bandung tiga bulan lalu, kemudian bekerja di Lesmana Agency.
Selebihnya, Ndari tidak tahu mengenai Bas. Perjuangannya untuk mendekati Bas masih jauh. Bahkan, selama dua bulan ini Ndari sama sekali tidak memiliki kemajuan untuk mengenal Bas lebih jauh.
"Aku penasaran," kata Ndari.
"Hem?"
"Apa kamu nggak penasaran dengan aku?"
"Hah? Apa?" Bas mengalihkan pandangannya dari soto ke arah Ndari.
Ndari menerawang, memutar bola matanya, kemudian menarik sudut-sudut bibirnya. "Apakah kamu nggak ingin tahu mengenai kehidupanku, misalnya? Hem, makanan kesukaanku, semacam itu?"
"Kenapa harus?" tanya Bas, kebingungan.
Ndari mendengus. "Karena, Bas, aku ingin tahu mengenai kehidupanmu. Terutama, hal-hal yang kamu pikirkan saat ini."
Ndari ingin tahu apa yang mengusik pikiran Bas akhir-akhir ini. Ndari terlalu pintar untuk menyadari bahwa ada seseorang yang membuat Bas tertarik. Dia tahu, bukan Ndari orangnya.
***
Bas merapatkan jaketnya, dia berjalan perlahan menuju tempat parkir dan segera mengendarai motornya. Belum lama motornya melaju, dia merasakan ponselnya bergetar. Bas menghentikan motor, kemudian menerima telepon.
"Hoi, David, ada apa?" sapa Bas. Seseorang yang dipanggil sebagai David itu berbicara, tetapi tidak jelas. "Putus-putus."
Lalu, telepon mati. Bas mendesah. David adalah teman SMA Bas ketika di Semarang. Sejak lulus SMA David pindah ke Bandung. Sejak Bas pindah ke Bandung, mereka kembali berkomunikasi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Arunika [TERBIT]
General FictionAda sebuah kafe yang memilih buka di waktu usai subuh, ketika orang-orang masih mendekap selimut mereka, Tari - pemilik kafe - memilih menggiling kopi dan menyiapkan roti isi untuk sarapan. Arunika, sebuah kafe yang mempertemukan pekerja malam dan p...