48. Lajur Rasa

11.3K 428 13
                                    


Indira

Aku segera bangkit begitu memastikan bahwa suara yang menyapaku barusan memang benar-benar Revan.

Pipiku yang basah kuusap dengan serampangan, nggak bisa memungkiri rasa lega dan senang yang bertubrukan.

Tapi, kelegaanku sontak berkurang begitu mendapati wajah datar Revan, dia kelihatan kaget dan nggak senang. Aku bahkan bisa melihat rahangnya mengeras, dan mata yang biasa selalu berbinar tiap menatapku kini hanya berisi kekosongan.

"Ngapain?" Dia bertanya lagi, suaranya yang terkesan acuh membuat kesenangan yang tadi menyapaku hilang.

Sepertinya, aku memang sudah terlambat.

"Aku.. aku mau ngomong." Ujarku agak gentar.

"Masih ada yang perlu di omongin? Bukannya kita udah nggak ada apa-apa lagi?" Revan nggak repot menyembunyikan nada sarkasnya, aku hampir nggak percaya kalau dia adalah sosok yang sama yang menatapku takjub di kafe tadi pagi.

"Ada. Kita.. harus mengakhiri semua dengan benar."

Aku nggak boleh mundur, kalaupun memang nggak ditakdirkan bersama, setidaknya kita tidak berakhir saling menyimpan benci.

Revan berdecak. "Apalagi yang perlu diakhiri, Ra? Bukannya di mata kamu kita udah selesai sejak tujuh tahun lalu?"

Aku mengangguk, nggak bisa menyangkal ucapannya. "Tapi semua berakhir dengan nggak semestinya, kan, Rev? Sekarang aku ingin memberikan akhir yang--"

"Intinya tetap sama kan? Tujuh tahun lalu saat aku pergi, dua tahun lalu saat akhirnya kita ketemu lagi, tiga bulan lalu waktu Reyhan menikah, bahkan sekarang," Revan menatapku dengan kilat sakit yang begitu kentara. "Semuanya sama aja, kamu datang cuma untuk menegaskan perpisahan."

"Tapi sekarang aku nggak akan mencegah lagi, Ra. Aku nggak akan mengemis seperti yang selalu kulakukan setiap kali ada di depanmu." Revan memaku mataku. "Kamu mau kita berakhir dengan benar, kan? Ayo lakukan. Mulai sekarang, anggap aku dan kamu sama sekali nggak pernah kenal. Anggap aku nggak pernah ada di hidupmu. Aku mengakui kesalahan yang dulu pernah kulakukan, dan aku minta maaf untuk itu. Jadi, kalau bisa, lupakan itu juga, lupakan semuanya, agar namaku nggak menyisakan apa pun di hatimu."

Mataku berkaca-kaca saat akhirnya Revan menyelesaikan Kalimat panjangnya. Tapi aku mengerti, kesabaran orang ada batasnya. Dan mungkin, tingkahku selama ini sudah mendorong Revan sampai batas yang sudah nggak bisa lagi dia tanggung.

Aku akhirnya mengangguk, menyetujui usulannya. Mungkin, kami benar-benar nggak ditakdirkan bersama, dan nggak ditakdirkan untuk tetap baik-baik saja.

"Oke. Aku juga minta maaf kalau selama ini udah keterlaluan. Dan untuk janjiku tiga bulan lalu, aku minta maaf juga untuk itu. Semoga suatu hari nanti, saat kita ketemu lagi, aku dan kamu bisa menyapa selayaknya teman lama. Makasih--" Ucapanku terjeda saat sesak tiba-tiba menguasai. "Makasih untuk perjuangan kamu selama ini. Aku pamit. Selamat tinggal, Revan."

*****

Revan

Harusnya aku nggak kaget dengan reaksi Indira. Dia memang menangis, tapi sama sekali nggak berusaha untuk menahanku. Harusnya aku tau kalau dimatanya aku nggak sepenting itu. Tapi tetap saja aku nggak bisa mencegah sakit yang menjalari hatiku.

Aku sudah menahan diri sekuat tenaga untuk nggak merengkuhnya, mengusap air mata yang sepertinya nggak bisa berhenti mengalir. Dia pasti nggak tau seberapa besar usahaku untuk pura-pura nggak peduli padanya. Atau mungkin apa pun yang kulakukan memang nggak ada artinya di matanya. Dari awal, tujuannya datang kemari memang untuk menutup buku denganku. Membakarnya sampai hangus bila perlu.

Lajur Rasa - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang