Struggle 2.0

712 54 5
                                    

Hope you like it! And Happy Reading^^
______________________________________________

Aku tau itu bukan maksud dari kontak fisik seperlunya yang aku buat waktu itu. Berapa kali belakangan ini aku berhasil menolak karena saat dia minta, aku tidak melihat wajah apalagi matanya.

Tapi tadi, saat aku berbaring dan meletakkan kepala dipahanya, mataku langsung tertuju pada bibirnya, beberapa kali dialihkan ke handphone pun tetep saja ke distract, apalagi saat Zandy ngulum bibirnya sendiri.

Pikiranku bisa teralihkan saat dia memainkan rambutku. Dan bener-bener teralihkan saat dia bertanya, "Li, kata kamu kontak fisik seperlunya aja kan?" aku langsung merasa sudah salah berbaring dipahanya, karena mungkin ini kontak fisik yang berlebihan, jadi aki berniat untuk bangun.

Tapi dia menahanku, juga lanjut berkata, "Aku lagi perlu ini saat ini, boleh?" tanyanya, sambil mengusap bibirku.

Sebelumnya aku tau, aku bisa menolak jika tidak melihat wajah atau matanya, tapi sayangnya mataku telah fokus pada bibirnya sedari tadi, jadi otakku kembali tidak bisa menolak. Orang dan bibirnya secandu itu.

Aku bangkit, nyingkirin tangannya dari kepalaku, duduk disampingnya, menghadap juga tersenyum padanya, "Boleh. Nih." aku mengizinkan dan menyerahkan kepalaku padanya. Aku juga perlu itu sekarang.

Masih dalam kesadaran penuh, aku merasakan kembali bibirnya setelah beberapa hari berpuasa. Aku menikmati semua yang dia lakukan, mengecup, mengecap, menggigit, bahkan meraba.

Iya aku tau ini salah, tapi sebentar, sebentar lagi. Aku masih mau merasakan ini, seperti itu pikirku tadi.

Zandy begitu semangat, tapi masih lembut memperlakukanku, tangan yang tadinya menopang diri, kini kurasakan berkeliaran dibalik bajuku. Nafasku memburu saat tangannya tanpa ragu meremas lembut berapa kali apa yang sedang dipegangnya.

Aku tidak tau dia sadar atau tidak, tapi tubuhku sudah hampir berbaring karna remasan lembut itu.

Belakangku ini adalah pinggir dari pelataran yang kita duduki, aku mencoba mencari pegangan dengan cepat, atau setidaknya alas untuk menopang tubuh.

Tapi saat tanganku mendapatkannya, kegiatan kita berhenti, total, dia menatapku agak bingung, dan itu membuatku lebih bingung.

Nafas kita tidak karuan. Aku mencoba memahami tatapan Zandy, tapi aku tersadar karena pergerakan tanganku, aku menggangam hal yang seharusnya bukan untuk berpegangan.

Ada beberapa waktu untukku bisa tersadar, "Maaf." cuma itu kalimat yang keluar dan menarik cepat tanganku dari sana.

Aku sangat malu, benar-benar malu.

Bahkan setelah aku menyakinkan diri sejak turun dari mobilnya tadi, aku masih merasakan malu.

"Kenapa harus pegangan disana sih?"

"Zandy bakal mikir apa coba? Mana tangan gue masih hafal bentuknya sampai sekarang." aku terus melihat tanganku yang sedari pulang tadi, sengaja aku abaikan.

Tanganku terasa pas disana, seperti sedang memegang—Zandy sebesar itu?! "Astagfirullah. Engga, jangan pikirin lagi Li."

Aku berusaha untuk tidak memikirkan itu lagi, dan bangkit melepas handuk dikepalaku.

Mandi pun tidak menghilangkan perasaan aneh itu, ditambah pikiranku terus saja berputar di adegan yang sama.

Aku bergegas mengeringkan rambut agar bisa cepat tidur, semakin malam sepertinya isi kepala tidak bisa dikontrol sepenuhnya.

Meraih hairdryer, pikiranku mulai beralih momen. "Please, cukup gak di pikirin aja Li. Ayo keringin rambut, terus tidur." aku mencoba menahan kemana otakku akan berpikir, jadi aku berusaha tidak memikirkan apapun.

Sambil menguapkan hawa panas ke rambutku, aku bertekad untuk fokus pada rambut lembab, namun bukannya berhasil, itu jadi seperti batu loncatan untuk beralih kepikiran lain, aku malah kembali teringat alasan kenapa aku sampai bisa berpegangan padanya.

Dan bahkan aku masih bisa merasakan tangannya didada— "Wah gila Li. Lo kenapa sih?!" dengan keadaan rambut masih agak lembab, aku bangkit dan memilih langsung berbaring dan menutup seluruh badan dengan selimut.

Meski aku tau tidak akan langsung tertidur, setidaknya aku akan terus memejam. Tapi satu pertanyaan membuatku meraih handphone, "Apa kalo mau nikah otak jadi kacau gini?"

Aku mencari berbagai kata kunci yang serupa di internet tapi aku sama sekali tidak mengerti, dan malah mendapat artikel lain yang membuatku semakin bertanya-tanya.

Karena kurasa akan semakin jauh hal yang kudapat malam ini, aku berhenti dengan handphone, aku menyerah, dan memilih mengambil obat tidur untuk cepat terlelap, masih ada banyak yang harus aku lakukan besok.

______________________________________________

Dan disini kita tau, Lidya kita yang sudah tidak polos, juga menahan diri untuk tidak berpikir jauh.
.
.
.
Zandy sudah seperti materi baginya, apapun yang dia rasakan terhadap kekasihnya itu, dia akan pelajari, dan sejauh hubungan mereka, Lidya telah mengetahui banyak hal.
.
.
.
Jadi gitu, karena chapter lalu mereka udah sah, ya... Kita liat aja, siapa yang lebih dulu tunduk,
Lidya dengan rasa penasarannya, atau Zandy dengan hasrat yang udah sering dia tahan.
.
.
.
trima-ari(g)omawo-you:*

Sweet Moment (Oneshoot) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang