»»--⍟--««

62 14 5
                                    

story written by @sthrna
Dia Haikal

ʕっ´・_・ʔっ   ʕっ・◡・ʔっ ⊂ʕ´・◡・⊂ ʔ

Ini hari terakhirku tinggal di kota Solo. Besok pagi, aku harus pindah ke Bandung. Setelah sebelumnya aku mendapatkan kabar bahwa aku diterima di sebuah institut teknik di sana.

Hari ini aku mulai berkemas-kemas. Membereskan beberapa tumpuk buku yang berserakan di sudut kamar, mengemasinya kedalam kardus. Membuang kertas-kertas yang tidak perlu, dan meloakkan beberapa diantaranya.

Namun, ketika aku tengah membereskan buku-buku tersebut, netraku tertuju pada sebuah buku diary berwarna coklat tua. Itu buku ku semasa SMA. Aku tersenyum simpul, sepertinya tidak ada salahnya aku meluangkan waktu untuk sedikit bernostalgia. Walaupun dua tahun belakangan ini aku sudah tidak pernah mengurusnya, tapi bisa dilihat buku itu masih mulus. Hanya beberapa halaman saja yang diisi, selebihnya putih bersih.

Aku beranjak duduk di meja belajarku. Memulai menjelajahi setiap lembaran kertas yang kutulis tangan menggunakan tinta berwana hitam. Aku mulai menulis di buku diary ini ketika duduk di kelas sepuluh. Niat awalku buku ini akan menjadi buku catatan tugas, namun setelah aku mengenal dia, buku ini seketika beralih fungsi.

Dia yang kumaksud adalah Haikal. Orang yang tidak sengaja membuatku jatuh hati sejatuh-jatuhnya. Anak laki-laki itu menyihirku saat pandangan pertama. Dia benar-benar sempurna. Posturnya tinggi tegap, berkacamata, dan senyumannya benar-benar manis secerah matahari. Sekali lagi ku katakan dia itu sempurna, sungguh, aku tidak bohong, dan aku berani bersumpah akan hal itu.

Banyak orang menyukainya, hampir satu sekolah malah. Bukan hanya perihal dia tampan, tapi dia juga pintar. Dia benar-benar hebat. Setiap ada guru yang bertanya mengenai pelajaran, dia selalu angkat tangan, dan percayalah semua jawaban dia adalah seratus persen benar. Aku tahu sebanyak itu karena kebetulan kami sekelas, dia duduk di sebrang bangkuku, tak jarang aku meliriknya, dan diam-diam aku akan tersenyum.

Kala itu, aku tidak begitu dekat dengan dia. Kami hanya mengobrol seperlunya. Jangan bilang aku terlalu cupu untuk memulai pendekatan, aku hanya tidak ingin dia risih ketika mengetahui bahwa aku sebenarnya memendam rasa padanya. Melihat dia secara diam-diam dan mengagumi dia dalam diam, itu sudah cukup.

Karena mencintai dalam diam itulah aku harus menerima resiko kalau pada nantinya aku akan sakit hati ketika dia dekat dengan teman sekelas ku yang lain. Tenang saja, aku sudah terbiasa menjadi kuat untuk menghadapi hal itu.

Ketahuilah bahwa aku benar-benar mencintainya, sampai-sampai aku pernah membuntuti dia ketika pulang sekolah.

Masih di tahun yang sama, di semester dua. Aku kembali membuntuti dia. Aku pura-pura menunggu bus bersamanya di halte. Kami duduk berjauhan, selisih tiga kursi. Saat itu aku berdoa semoga dia tidak sadar akan keberadaanku, sebab biasanya aku pulang sekolah naik sepeda. Semoga dia tidak curiga.

Selisih tiga kursi bukanlah penghalang bagiku untuk terus mengamatinya. Ku lihat dia sedang berbincang dengan seorang wanita paruh baya yang menggendong anak balita. Haikal memang begitu, dia mudah akrab dengan siapa saja. Itu benar-benar keren, dan karena itulah perasaanku padanya terus bertambah.

Ketika mereka masih asik mengobrol, anak balita itu melemparkan mainannya ke jalan raya. "Sebentar ya, mainannya kakak ambilin." Itulah yang bisa kubaca dari gerak mulut Haikal. Sesaat kemudian aku lihat Haikal mulai menyebrang jalan dengan hati-hati. Lagi-lagi, entah untuk keberapa kalinya untuk hari itu, aku tersenyum melihatnya. Haikal benar-benar anak laki-laki yang baik.

Awalnya memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Haikal berhasil mengambil mainan milik anak kecil itu. Namun, ketika Haikal ingin berbalik, sebuah sedan hitam melaju dari arah timur menghantam tubuhnya sampai terpental. Senyumanku tiba-tiba hilang. Aku menepuk pipiku, sakit. Tidak, aku yakin ini hanyalah sebuah mimpi. Tidak, itu bukan Haikal. Tidak mungkin.

Mataku memanas. Dadaku terasa sangat perih melihatnya berbaring di trotoar dengan kepala yang dipenuhi darah. Aku berusaha menyakinkan diriku sendiri. Tidak, itu bukan Haikal. Aku yakin aku sedang mimpi buruk. Mimpi yang benar-benar buruk di sepanjang hidupku. Sialnya mimpi burukku itu terlalu panjang bahkan untuk mimpi seribu satu malam.

Kini, aku melihat buku diary coklat tua itu dengan tatapan sendu. Tidak terasa bahwa mimpi burukku itu sudah berjalan sampai tahun ketiga Haikal tiada. Rasanya benar-benar sakit. Haikal pergi saat aku sama sekali belum menyatakan perasaanku.

Air mataku berlomba-lomba untuk jatuh membasahi pipi. Senyuman Haikal benar-benar manis, tapi juga meninggalkan luka yang sakitnya menikam nadi. Kalau saja waktu itu aku memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanku, seandainya saja aku punya nyali yang besar. Dan semua penyesalanku tentang dia berawal dari kata seandainya.

diketik dengan 734 kata
sthrna

Dia HaikalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang