9 | Coffee Humidifier: Kebimbangan Hati

267 52 23
                                    

Dimas terlihat sibuk dengan aplikasi ojol miliknya. Hujan sudah berhenti, berganti gerimis. Aku menawari Dimas untuk membawa mantel, tetapi dia menolak dengan alasan jaketnya sudah cukup tebal.

Selama perjalanan pulang dari RSSA sampai sekarang pun kondisi kami masih canggung. Aku benar-benar menyesal telah mengeluarkan candaan ngawur tadi. Mau minta maaf, tetapi gengsi. Apalagi Dimas juga diam saja.

Entahlah. Kepalaku terlalu berat memikirkannya. Masalah kesehatan Papa saja sudah membuatku sangat letih. Jadi, sebaiknya kondisi canggung dengan Dimas ini kusingkirkan dulu dari pikiran.

"Lho, Fara? Kapan sampai rumah?"

Mama terlihat kaget menatapku berduaan dengan Dimas di carport depan rumah. Mama masih memakai pakaian yang dikenakannya untuk ke Batu tadi, sepertinya juga baru sampai rumah.

"Barusan, sih, Ma. Mama juga baru datang?" Aku lalu berjalan meninggalkan Dimas untuk menuju Mama.

Mama mengangguk, menatapku sekilas, lalu kembali melihat ke arah Dimas. Mama diam sesaat sebelum bertanya pelan padaku, "Itu siapa? Kok pakai kemeja seragam The Jeann's?"

Aku memutar tubuh dan menatap Dimas sesaat. Kemudian, kembali pada Mama. "Namanya Dimas, Ma. Anak S-2 Hukum UB yang part time di kafe Mira."

Mama mengangguk sambil ber-oh panjang. Kemudian aku bertanya, "Mama bawa oleh-oleh dari Batu, enggak? Minta satu buat Dimas, boleh? Dia yang nganter dan nemenin aku tadi ke RSSA."

Mama menatapku sejenak. Kemudian, mengangguk dan menjawab, "Ada. Mama dibawain banyak keripik buah, susu segar, buah-buahan, juga ada coffee humidifier beberapa buah. Mau kamu kasih apa?"

Aku berpikir sebentar. "Hm, minta coffee humidifier-nya satu, dua keripik buah dan satu botol susu segar. Gimana, Ma?"

Mama tersenyum. "Oke. Mama ambilin dulu. Suruh dia duduk di teras sini, gih."

Aku mengangguk dan segera menjalankan perintah Mama. Awalnya Dimas tak mau, katanya sungkan. Namun, saat Mama datang dan mengajak ngobrol, barulah dia bersedia datang mendekat ke teras.

"Sebentar lagi driver-nya datang, Tante. Ini apa, kok, repot-repot segala?" Dimas terlihat kebingungan dan salah tingkah saat Mama menyodorkan satu kantung kresek tanggung berisi oleh-oleh.

"Halah, ini biasa aja. Ungkapan terima kasih seorang ibu pada cowok yang udah antar anak ceweknya pulang ke rumah dengan selamat." Mama lalu terkekeh-kekeh, tanpa peduli denganku dan Dimas yang mulai salah tingkah.

"Oh, iya. Kata Fara, kamu namanya Dimas, ya? Ngekos di mana, Dik?"

"Di Vetdam, Tante."

"Walah, dekat ternyata. Sering-sering main ke rumah sini, ya, sambil makan malam juga boleh."

"Eh?" Dimas kebingungan. Sementara aku sudah melempar tatapan kesal pada Mama karena telah bicara seenaknya.

"Ini pertama kalinya Fara bawa cowok ke rumah setelah 5 tahun--"

"Mama!" Aku tak tahan lagi, rasanya wajahku sudah mulai memanas karena malu.

"Lho, ya benar, kan?" Mama menatapku. "Sejak kamu cerai sama bajingan--"

Aku segera mencubit pelan lengan Mama, membuatnya terkejut dan terlihat lebih kaget lagi saat menemukan Dimas tengah menatapnya dengan wajah tercengang.

"Eh, maaf ... maaf. Tante kira Dik Dimas udah tahu kalau Fara ...." Mama tak jadi meneruskan perkataannya saat menyadari aku tengah menatapnya dengan kesal.

Kau dan Kopi di Senja Hari [Republish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang