Di lantai tiga cafe itu, aku dan Andi merenung, hampir dua minggu aku tak berkunjung ke tempat itu. Aku mengungsikan diri ke Jogja, menginap di tempat beberapa sahabatku di sana. Entah sampai kapan aku akan begini, tapi selama di Jogja, aku malah mendatangi tempat-tempat favorit kita untuk menggenapkan kenangan dan patah hati yang sekarang aku rasakan. Dua buah minuman dan sebuah mangkuk kripik kentang menyapaku sebelum akhirnya Andi datang.
Andi datang dengan wajah berbinar, menyambutku dengan pelukan sebelum duduk santai di sampingku, “Willy ngubah banyak hal yang aku tahu tentang kamu Bell,” celetuknya langsung mengungkit rasa sakitku. Perih yang masih terus mengiris. Nama itu masih menjadi candu, dulu yang membuat ngilu karena rindu, sekarang hanya membuatku terpuruk dalam haru.
“Maksud kamu?” sahutku sambil berusaha menjejalkan senyum di wajahku, tapi aku tak bisa. Aku tak mampu merasakan kebahagiaan belakangan ini. Aku masih menginginkan Willy, membuatku bingung menentukan banyak hal.
“Abell yang dulu aku kenal, paling benci sama asap rokok, sekarang kamu nggak bisa lepas dari rokok. Bakal mabuk parah kalau udah beberapa kali tenggakan, sekarang hampir tiap malam kamu ngajakin anak-anak buat mabuk. Hidupmu dulu tertata, bangun di jam khusus, sarapan dua tangkup roti, nyetel lagu buat bangikit semangat dan dateng ke cafe sambil senyum-senyum nggak jelas. Sekarang? Kamu nggak ada bedanya sama orang-orang yang hidup di jalanan, ragamu hadir, tapi jiwamu entah ada dimana,” ucapnya santai, seperti sudah ia persiapkan sebelumnya. Aku tahu jika dia sedang menyindirku, tapi di sisi lain aku juga tahu jika itu fakta.
Kusesap rokok di jariku sebelum menjawabnya.
“Gimana? Masih dalam proses patah hati?” tanya Andi lagi dengan nada pengusik hatiku. Aku benci jika dia berbicara dengan nada seperti itu. Tapi aku sadar, dia berhak memperlakukanku seperti ini.
“Masih, dan kayaknya belum ada rencana buat berhenti,” jawabku ketus, tanpa emosi sedikitpun, “aku tahu kalau aku salah, nelantarin banyak hal terus ngilang beberapa hari beberapa kali, ok?”
“Dua minggu,” ralat Andi membenarkanku.
“Oke, dua minggu. Maaf Ndi,” kataku tulus, “tapi setidaknya kamu juga ngerti posisiku dong,”
“Aku paham posisi kamu Bell,” jawabnya melunak, ”tapi setidaknya kalau kamu masih nganggep aku abangmu, kamu bilang dulu kalau mau nginep di Jogja dua minggu atau mau kemana dulu kan bisa ijin, bilang kek mau merek bentar ke Jogja atau mau kumpul-kumpul sama grub LGBT pasti aku ijinin. Aku paham keadaanmu sekarang, tapi kamu juga punya tanggung jawab disini,”
“Iya Ndi maaf,”
“Jadi gimana perasaanmu sekarang?”
“Aku masih kacau tanpa dia Ndi, kaya nggak punya arah. Cuma Willy yang aku butuhin, aku samperin ke distronya, sekarang posisi dia di pegang Sandra, aku pergi ke klub, dia udah nggak kerja disana. Aku ke rumahnya, kata ibunya sekarang dia kerja di Bandung, aku mau nyusulin dia kesana Ndi,”
“Kalau dia tetep mau putus sama kamu? Atau nggak mau ketemu lagi sama kamu?”
“Setidaknya dia ngasih pejelasan kenapa kita harus pisah, kita udah bangun hubungan ini sama-sama, saling ngorbanin banyak hal, masa iya nggak bisa di omongin baik-baik?”
“Kalau hubungan kalian emang udah kadaluarsa? Dan nggak bisa di daur ulang lagi?”
“Kamu suportif dikit kenapa sih?” kataku sengit.
“Bukannya nggak suportif Bell, cuma ngasih opsi cadangan aja biar omonganmu nggak ngelantur kemana-mana. Kamu nggak mau ngelepas dia? Udah hampir empat bulan lho kamu kaya gini? Nggak capek apa hatimu nangung perasaan itu terus-terusan? Dia juga berhak bahagia lho, hati itu makanannya damai sama bahagia biar tubuhmu nggak kenapa-napa,”