Seumur hidup tidak pernah terlintas dalam benak seorang Shinta Galuh Gistara kalau suatu saat nanti ia akan menikah dan mempunyai suami. Hidupnya ia rancang hanya untuk menggapai cita-cita. Ia tidak pernah berekspektasi akan ada seorang laki-laki setelah ayahnya yang akan mendampinginya.
Namun, lihatlah sekarang. Lihatlah foto itu! Foto dengan ukuran hampir memenuhi dinding di area ruang tamu. Foto yang setiap kali ia lihat selalu membuatnya meringis teringat kalau ia sudah menjadi seorang istri. Istri loh, istri!
"Kok bisa-bisanya aku cuma sebatas bahu dia doang? Ini aku yang cebol apa dia yang kayak gantar, sih?"
Hari sudah terlihat gelap di luar sana, matahari telah berganti shift dengan bulan. Tetapi, sudah hampir satu jam ia duduk di sana, Pak Suami kok belum juga pulang?
Bukannya apa-apa, pasalnya setelah Isya ini mereka ada janji untuk pergi ke rumah orang tua dari suaminya itu. Iya, rumah mertua.
Mertua, ceuu ...! Mertuaaa!
Mengingatnya membuat Shinta overthinking sendiri. Bagaimana ini? Walaupun Mami-Papi nya itu bukan tipe-tipe mertua yang sering membuat sang menantu sakit hati, tapi 'kan tetap saja!
Gugup-gugup gimana gitu, loh ...! Ini dirinya harus berlaku seperti apa? Jadi tipe-tipe keraton yang kalau tertawa harus terdengar halus sembari ditutup, atau apa?
Tiin! Tiin!
Shinta buru-buru menuju pintu utama saat mendengar suara klakson mobil. Ia yakin sekali kalau itu adalah mobil suaminya. Dengan wajah tertekuk sebal, Shinta berkacak pinggang seraya memerhatikan Rama yang tengah berjalan ke arahnya.
"Kenapa, ini, istrinya mas Rama kok mukanya kusut kayak baju belum disetrika gitu?" celetuk Rama sembari mengusap pipi istrinya, namun tidak lama kemudian ditepis begitu saja oleh Shinta.
"Mas Rama tuh ngeselin banget, sih! Ini udah jam berapa coba? Kita 'kan ada janji mau ke rumah Papi habis Isya! Aku udah siap-siap, udah cantik, udah rapi, udah wangi, dari SATU JAM YANG LALU! Tapi Mas Rama ditungguin lamaaaaaaa banget! Katanya jam enem udah di rumah, ini apaan? Jam enem lewat dua jam!" Serobot Shinta dengan napas yang memburu. Wajah istri Rama itu terlihat merah, dengan napas yang ngos-ngosan setelah mengeluarkan semua unek-uneknya pada sang suami.
Rama menghela napasnya sebentar, lalu mulai mendekatkan dirinya pada Shinta. Tas kerja yang tadinya bertengger di tangannya kini berpindah ke sofa. Tangan besarnya menyentuh pipi Shinta lalu mencubitnya.
Laki-laki itu tersenyum kecil menahan rasa gemas yang ada dalam dirinya. Wajah ayu Shinta yang tengah marah membuatnya ingin menggigit pipi kemerah-merahan itu.
Cup!
Rama mengecup sekilas kening istrinya itu. "Udah marahnya?" tanyanya kemudian.
"Belum!" jawab Shinta dengan jutek.
"Nggak boleh marah-marah, loh, ma ... Kasian anak kita kalo denger umma-nya marah-marah terus." Rama mengelus pelan perut Shinta yang berada di balik gamis berwarna merah muda. Setelah mengucapkan itu, Rama lantas pergi begitu saja, tidak mengindahkan Shinta yang melongo mendengar ucapannya, ditambah lagi wajahnya yang kini sudah berwarna merah seperti tomat.
Shinta berbalik menatap punggung suaminya yang terlihat menjauh. "Anak apaan, sih? Lemak? Cimin? Cilor? Cilung? Batagor? Somay? Empek-empek? Apa seblak?"
Sedangkan Rama yang mendengar balasan dari Shinta hanya bisa tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
***
Rama membuka pintu kamarnya pelan, lalu sekejap kemudian Shinta berlari masuk untuk menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Rama hanya tersenyum kecil melihat tingkah laku gadis remaja itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hei, You! Come to Me
RomanceShinta tak pernah menyangka akan menikah di usianya yang masih belasan tahun. Oh, bukan! Ini bukan sebuah perjodohan yang direncana, ini lebih merujuk pada ... ah, sejujurnya Shinta sendiri juga bingung menyebutnya apa. Satu bulan pasca kematian aya...