Belial melihat banyak bola-bola itu mendatanginya. Ia melirik ke atas sedikit, air hujan masih mengguyurnya. Apa apinya akan bertahan? Bagi Zagan dan Astaroth, cuaca sekarang justru sangat menguntungkan mereka, karena Zagan bisa mengontrol petir, Astaroth air dan es. Untuk Belial? Tidak begitu. Akhirnya ia mengerti mengapa ayahnya dan ayah Astaroth sangat terbalik.
"Yakinlah."
Deg deg.
Belial mendengar suara itu lagi, suara yang ia dengar pagi ini saat ia bangun. Jantungnya berdetak lebih kencang.
"Haahhh," Belial menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya. "Sudah siap?" lirik Astaroth yang masih sibuk di depannya.
"Better than ever," jawab Belial, tangan kirinya menangkap sebuah bola hitam yang hendak meledak.
Alih-alih meledak sendiri, Belial menggenggam bola itu dengan sangat kencang dan keras, membuatnya menghasilkan ledakan yang lebih dahsyat hingga hancur. Belial melirik ke arah penyihir lainnya, menunjukkan bahwa usaha mereka sia-sia karena ada yang tahan api di sini. Gertakan Belial sukses.
Serangan berikutnya ia gunakan untuk melatih api kecilnya. Dia tidak berharap banyak, namun mau sampai kapan dia hanya diam saja, kan? Belial mengarahkan tangannya ke bola lainnya lagi. Kali ini dia tidak menggenggamnya, tapi hendak mengeluarkan api dari tangannya.
Duar!
Api tersebut mengenai salah satu bola, dan bola tersebut langsung meledak. Seperti bom. Antara meledak sendiri karena waktunya habis, atau diberi pemicu lain sehingga meledak, pikir anak laki-laki itu. Dia menelan ludahnya. Oke, ayo kita coba lagi.
Belial membuka telapak tangannya, memperhatikan gerak api yang muncul. Selama ini, dia hanya mencoba mengeluarkan api dengan jari-jari yang berhimpit rapat. Belial melebarkan jarak antar jarinya secara perlahan dan mengamati. Matanya tampak semakin membuka ketika melihat apinya ikut melebar.
Tangan adalah unsur penting bagi pengendali api. Seberapa besar api itu akan terbentuk nantinya, bergantung pada seberapa besar tangan sang pengendali.
"Woah!" serunya kaget karena ada bola hitam yang terbang cepat ke arahnya. Dengan reflek ia mengarahkan tangannya yang terbuka.
DUAR!
Alhasil, bola tersebut semakin cepat meledak. Semakin cepat meledak, semakin jauh pula jarak ledakannya dari Belial. Ini berarti, dia dan teman-temannya bisa berada dalam zona yang aman jika dia berhasil membuat api yang besar, menghindari ledakan.
Belial menarik napasnya, kemudian berkonsentrasi lagi. Sekarang, dia sudah tahu bahwa untuk memulai api harus dimulai dengan telapak terbuka jari berhimpit rapat, kemudian jari akan dilebarkan perlahan untuk memperbesar api.
Kali ini dia mencoba menekuk jari-jarinya. "Haha, keren!" serunya girang ketika melihat api yang asalnya tidak memiliki bentuk absolut itu memadat menjadi bola api. Memang belum sesempurna itu, tapi ini perkembangan pesat baginya. "Kelihatannya kamu enjoy banget di sana, ya?" tanya Astaroth tersenyum.
Belial mencoba melempar bola apinya ke salah satu penyihir. Bola tersebut segera meleleh ketika ada kontak dengan benda lain. Penyihir tersebut tampak kaget awalnya, namun tidak terjadi apa-apa.
"Coba kamu aktifkan apinya, Belial," ujar Astaroth. "Aktifkan? Bagaimana?" tanya Belial.
"Hmm, seperti aku tadi. Kalau aku tidak bilang bekulah, maka penyihir tadi cuma mati karena tertikam, bukan membeku," jawab Astaroth.
Belial berpikir, "Meledaklah!" serunya. Nihil.
"Terbakarlah?" tebaknya lagi. Masih salah.
Belial berpikir, mengamati targetnya tadi. Oh! Bolanya meleleh, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
INFERNO: The Lost Prince
Fantasi[END; DILENGKAPI DENGAN ILUSTRASI DI BEBERAPA CHAPTER] "...Mustahil. Pangeran itu, sudah tewas ratusan tahun yang lalu!" Tidak ada yang menyangka bahwa karya wisata itu akan membawa malapetaka. Belle Vierheller, seorang murid SMA yang bisa dikataka...