Ways of Falling in Love [6]

184 28 0
                                    


Helaan napas lelah keluar dari mulutku saat meletakkan berkas di atas printer kantor. Beberapa kali aku menekan tombol yang harus ditekan sebelum meletakkan lembaran-lembaran kertas di tanganku sesuai tempatnya. Sembari menunggu, aku bersandar pada meja printer tersebut demi melamunkan hal yang terjadi pagi tadi.


Kata Nanami-san, dia berdoa agar Senin cepat datang dan beliau bisa bertemu denganku? 


Apa dia serius? Tunggu—  


Dengan kepala yang ditundukkan dalam serta tangan naik untuk menutup mulut, aku membuka kedua mataku lebar-lebar akibat rasa terkejut. Hatiku berdebar lebih kencang sampai rasanya sakit. Aku menggigit bibir dalamku sedikit kencang. Keningku juga mengerut dalam saat berpikir tentang apa yang mungkin dirasakan oleh Nanami-san.


Apa Nanami-san menyukaiku?


Ah! Apa yang ku pikirkan baru saja ini?! Sangat-sangat tidak sopan! Mau memikirkan hal-hal seperti itu tentang superior-ku sendiri?!


Tapi—sebenarnya aku tidak bisa mengelak untuk GR—


"Aku bisa gila memikirkan ini terus—" gumamku perlahan sembari membereskan kertas-kertas yang sudah selesai ku-scan. Namun di tengah prosesku membereskan kertas-kertas tersebut, aku mendengar langkah kaki cukup cepat mendekat masuk ke dalam ruangan. Dan dari pintu seberang, muncullah Nanami-san yang nampak resah dengan tolehan kebingungannya. 


"Nanami-san?" panggilku secara reflek. Aku menutup mulutku cepat menyadari bahwa aku baru saja memanggil Nanami dengan begitu polos. Bahkan seluruh ruangan ikut menoleh ke arahku, apalagi yang punya nama. Beliau langsung melangkah cepat mendekatiku, "Kebetulan sekali. Ayo ikut saya."


"Eh?! Kemana—Nanami-san, dokumennya—" aku ikut menaikkan pundak terkejut apalagi saat Nanami meraih pergelangan tanganku yang bebas tak memegang kertas. Nanami berhenti sejenak mengambil dokumen tersebut dari tanganku dan menyodorkannya pada salah satu karyawan yang berada tak jauh dari kami berada. Tepat sekali, itu tadi atasan yang meminta bantuanku.


"Kamu sudah lihat iklan perusahaan, kemarin?" tanya Nanami dalam perjalanan buru-buru kita.


"Eh? E—sudah." jawabku sedikit panik. Akhirnya langkah kaki kita yang terburu-buru itu berhenti di depan elevator sembari menunggu benda tersebut turun menuju lantai di mana kita berdiri. Nanami menoleh ke arahku. "Saya butuh pendapat kamu tentang iklan itu, keluarkan semua pendapatmu saat di ruang rapat nanti."


"HAH?! Maaf—saya—kenapa saya—Nanami-san—?" tanyaku pelan setelah menutup mulutku dari berbicara terlalu keras. Nanami menjawab santai, "Kamu anak muda yang saya kenal di perusahaan ini."


"Iya tapi—saya anak magang, apalagi kalau rapat besar seperti ini—" 


"Liftnya udah sampai, ayo masuk." potong Nanami. Aku mengernyit tidak terima, baru kali ini Nanami-san  memotong pembicaraanku. Apa karena beliau panik? Aku tidak mengharapkan sikap tersebut dari pria sepertinya.


"Kalau rapat besar seperti yang diikuti Nanami-san saat ini—pasti pendapat kecil saya tidak akan didengar! Tolong pertimbangkan pilihan anda dalam mengajak saya untuk mengeluarkan pendapat nanti—"


"Kamu tinggal mengeluarkan pendapat, saya yakin mereka bakalan dengerin kamu. Semua pendapat itu sama besarnya, enggak ada pendapat kecil-pendapat besar begitu." jawab Nanami-san dengan cepat. Aku dibuat menciut dengan jawaban beliau. Mungkin gesturnya saat itu tidak terlihat panik, tapi aku yakin saat itu dia kelewat panik sampai tidak bisa berpikir lurus. Bukan Nanami-san sekali—


"Intinya keluarkan semua pendapatmu, oke?" pesan Nanami-san tepat saat elevator yang kita naiki berdenting sampai di lantai yang dituju. Aku mengepalkan tangan dengan kencang, mengikuti langkah beliau sejenak sebelum berhenti lagi. Kepalaku menunduk dalam.


aku takut.


Aku tidak mengharapkan Nanami-san untuk memayungiku dengan cara menenangkanku. Cukup dia mencoba untuk menarik dan menghela napas pelan-pelan saja—sudah cukup untuk membuatku sanggup memahami keadaan. 


Maka dengan berani aku memanggil namanya kencang hingga ia berjengit kaget. "Nanami-san!"


Beliau perlahan menoleh dengan kedua mata membulat. Aku mengerutkan kening kesal, dengan berani menatapnya tepat di mata. "Aku takut, Nanami-san. Tolong."


"Bersabarlah." ucapku pelan. Nanami-san akhirnya berhasil mengatur napasnya dengan benar. Ia menarik dan membuang napas dengan panjang. Kemudian kembali menatap ke arahku dengan senyum tenang. "Maaf, biar saya jelaskan situasinya. Kemari, maaf sudah membuatmu panik juga."


- - -


"Saya benar-benar bersyukur sudah memilih untuk merekrut anda."


"Ah, Nanami-san—tolong cukupkan pujiannya, saya sudah enggak kuat." Tanganku terangkat untuk menutupi wajah yang dirasa merona. Di suhu yang mulai dingin ini aku malah merasakan wajahku yang panas. Aku hanya bisa memejamkan kedua mataku, salah tingkah setengah mati.


"Tapi saya benar-benar bersyukur loh. Pendapatmu tadi berhasil memecah perdebatannya. Ah, saya bener-bener lega sampai bisa pulang sesuai jadwal hari ini." Nanami menghela napas lega dengan kepala yang didongakkan menatap langit malam. Mendengar kelegaannya membuatku merasakan pundakku yang semakin enteng juga. 


"Oh, ayo beli sesuatu di vending machine sebelah sana. Kamu saya traktir atas kerja kerasmu hari ini." ajak Nanami melangkah lebih dulu mendekati vending machine yang berada tak jauh dari di mana kita berada. Aku mengerjap kebingungan saat menerima coklat hangat kalengan yang keluar dari vending machine tersebut. "Untuk saya?"


"Untuk kamu." Nanami mengangguk beberapa kali setelah mengambil kopinya dari bawah vending machine.


"Terima kasih, Nanami-san—lagipula yang tadi itu bukan apa-apa." aku menggeleng pelan sembari membuka kaleng coklat hangat di tangan. Nanami ikut menggeleng. "Tadi itu apa-apa."


Aku terdiam tak lagi menyahut satu patah kata pun. Hatiku lagi-lagi berdebar gugup, apalagi sambil menatap coklat hangat yang dibelikan Nanami-san. Padahal hanya cokelat vending machine tapi rasanya spesial sekali.


"Hey," panggil Nanami lembut. Aku menoleh penasaran. Yang kulihat di depan mata adalah Nanami dengan senyum lembutnya. "Coklat panasnya enak?"


Aku mengangguk beberapa kali dengan malu. Nanami mengulas senyum puas. "Glad to hear that."






Ways of Falling in Love [Nanami Kento]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang