Entah apa yang ada di fikiranku saat itu, kuraih pena dan kertas putih tanpa garis di atas meja dan menulis sebuah pesan, mungkin pesan kematian. Aku benar-benar lumpuh tanpa sosok itu, tak memiliki semangat dan gairah sedikitpun untuk melanjutkan hidup. Darah segar mengucur deras dari lengan kiriku dan menetes di atas kertas bercampur dengan air mata yang memberi noda berbentuk gelombang.
Kau berhasil memberikan perpisahan manis untukku
Tapi bukan itu yang aku mau
Hangat pelukmu dan nyaman tubuhmu, kembali jadi ilusi
Berperan dalam opera hidupku dan berlalu seperti mimpi
Meninggalkanku dalam kegelisahan tak berbatas
Keterpurukan yang membentang luas
Dan kesendirian yang tak henti menghempas
Jiwa rapuhku...
Raga lemahku...
Menguntai angan bersama peranakan iblis dan malaikat
Hadirmu, menjadi satu-satunya tali penyelamatku dari jerat sang pencabut nyawa yang sedari tadi mengetuk pagiku.
. . . . # # # . . . ...
Dalam pingsan, aku sekarat. Jiwaku melayang-layang.
Akankah aku hinggap di surga? Atau mendekam selamanya di neraka?
Aku benar-benar tak tahu, aku hanya pasrah menerima itu semua.
Berbekal intuisi, Andi lalu mendobrak kamar tempatku bersemayam setelah aku menelfonnya dan menyeracap kata-kata tak jelas. Ia membeku di depan pintu selama beberapa saat ketika melihatku tergeletak lemah dengan darah mengucur pelan dari lengan kananku dan noda darah belum kering yang membentuk sapuan tangan di mulutku.
Lewat sebuah teriakan, supir dan pembantu Andi datang, mengendong ragaku ke rumah sakit. Pada saat itulah, prosesi sakral mulai melumatku.
. . . . # # # . . . ...
Jiwaku melayang. Meninggalkan ragaku seperti tersedot tarikan maha dahsyat, plup... jiwaku terbang, melayang-layang. Mengambang di tengah udara yang memiliki kesan berbeda dengan sudut mataku sekarang. Aku tertarik ke atas dengan kecepatan konstan, kucoba berontak karena rasa takut yang menjalar hebat, kutendang-tendangkan tungkai kakiku, menyibak tumpukan awan yang mulai berjajar di sekitarku. Gelombang angin besar mendadak menampar kasar tubuhku, membuatku pontang-panting tak karuan. Aku berteriak, tapi tak ada suara yang keluar dari tenggorokanku. Semua kata-kata mandek di tenggorokan. Daratan di kakiku semakin mengecil hingga membentuk titik biru saat tubuhku terus melayang dan menggerus kesadaranku.
Aku kembali tak sadarkan diri.
Udara dingin menyergap. Membuatku gelagapan, menguliti tulangku tanpa ampun. Aku mengigil hebat. Kesadaranku mulai merayap, aku masih melayang di antara kegelapan dengan kelebat cahaya buram, terus mengambang ke atas dan menembus genangan air yang mengambang sebelum akhirnya berhenti mendadak. Mataku membelalak dan kakiku memperoleh pijakan, di antara air yang menengelamkan setengah tubuhku. Kulihat lempengan batu hitam dan putih berpadu ganjil di antara telapak kakiku, menambah kebingungan saat aku mendapati ragaku terdampar di sebuah danau tanpa tepi dengan kabut melahap seluruh bagiannya.
Nafasku berbaur degan kabut tipis di antara udara yang membuat tubuh menggigil, sebagaimana normalnya danau kebanyakan, yang mempunyai garis tepi berupa daratan. Danau beraura mistis ini sama sekali tak punya hal itu, menipis dengan warna hitam di kejauhan, lalu berbaur bersama kelam, lengkap dengan kabut samar membatasi jarak pandang. Aku mendapati tubuhku telanjang bulat di tengah-tengah danau, setengah tubuhku tenggelam dan kurasakan dingin yang begitu keparat untuk di ungkapkan.