HEMOKROMATOSIS YANG BERKUASA

31 2 0
                                    

AKU DAN HEMA

kuning, jingga, atau apapun itu;
adalah berhala baru yang bersarang di dua netraku.
membangun koneksi dengan hepar,
sedikit demi sedikit
melahap pelan bugarku
menguatkan kultusan saturasi
berzina dengan hepar dan endapan ferrum:
threesome tanpa seizin hepar
kemudian, lahir hepatitis.

tanpa sepengetahuanku,
ia terus mencuri asupan nutrisi
menghasut hemoglobin,
untuk mogok jadi kurir oksigen
dampaknya?
biru adalah hijau,
merah adalah oranye,
putih adalah kuning;
tinggal menunggu hitam.

Malang, September 2021

HEMOCHROMATOSIS, ADA PESAN UNTUKMU.

Pesanku untukmu. Hema
-panggilan mesraku padamu
Jangan salah kira jika ini merupakan pesan penghabisanku.
Setelah empat belas tahun
Pasca kependudukanmu di negara bepar,
Berapa bagian yang telah kaujajah?
Berapa suka yang telah kaurenggut?
Berapa liter kau kacaukan sistem irigasi arteri dan vena?
Kulihat, kau sedang duduk ongkang-ongkang
Di singgasana keangkuhanmu:
Terkekeh keji,
Meringis bengis,
Memagut culas,
Aku jijik menonton tingkahmu.

Setahun lalu, kau curi bapakku
Kaucoret namanya dari kartu keluarga
Kausisakan akta kematian sebagai oleh-olehnya
Kau menyusup di jembatan genetika
Merambat, mengendap-endap Berkelit seribu alasan
Kaubenamkan dia ke dalam rumah terakhirnya
Dengan dalih, "aku tak berbuat apapun, sumpah"

Sekarang aku adalah tawananmu.
Apakah kau akan menjarah hal yang sama,
Seperti yang kaulakukan padanya?
"Tentu. Sebab inilah titah Tuhan untukku."
Cihl Aku geram mendengar jawaban angkuhnya
Ah, aku sadar
Energiku tak cukup untuk naik pitam.
Tubuhku lunglai, pandanganku menguning.

Apakah aku sudah habis? Tentu saja tidak!
Pijar puisiku masih belum menunjukkan tanda redup!

Hei Hema, dengar.
Aku ini masih hijau
Jangan rakus. Tolong.
Jika esok, lusa, atau entah kapanpun itu
Aku sudah mencapai batas,
Ikutlah denganku
Ikutlah denganku
Ikutlah denganku, brengsek!

Banyuwangi, 10 Oktober 2021

BERHENTI, ATAU TERUS?

Aku dan puisiku menolak insyaf dari jenuh;
Membangkang penuh
Doktrin dan dogma fertilitas, perihal masa depannya
Ia tolak dengan angkuh
Berlagak seolah telah bunuh rapuh

Ingat, wahai puisiku!
Hidungmu bukan sebugar dulu
Tak ada lagi bau anyir,
Karat, tengik, juga amis ludahku.

Ingat, wahai puisiku!
Kakimu tak segagah beberapa minggu lalu
Pincang sebelah,
Sedang satunya dilahap varises panjang

Ingat, wahai puisiku!
Aku dan kau adalah satu;
Kau adalah aku,
Aku adalah kau.
Kita adalah senandika yang sudah bosan berkaca

Ingat, wahai puisiku!
Si kuning sedang merenggut kita!
Sedang, jalan mana yang kau pilih?
Terus berjuang dan konstan terseok-seok?
Atau,
Padam perlahan, dan diendus wangi secara hormat?

Malang, Oktober 2021

AKU DAN HEMA II

Kontras menurun; kabur dan buram
Saturasi warna menguning, dan semakin
Berkuasa, tahtanya jelma maha di anatomi tubuh
Yang terlihat oleh netra justru gulita
Setiap dua jam adalah jadwal makan
Diiringi lolongan "perih!"

Dari fibrosis menuju sirosis,
Hepar makin berkarat
Meranggas, merintih di kasur derita
Semerbak anyir darah menyeruak
Diam mematung terkapar,
Bergerak terjerat selang infus

Jika yang seperti ini adalah konstan,
Maka bersiaplah:
Suaka kedua telah bersiap menyambut.

Januari 2022

DI KAMAR ITU AKU MENYERUAK
(Ft. Yayuk Amalia)

dalam hening ruang putih
kutermenung menatap pijar
dengan pandangan setengah kabur
inginku lari mencari gulita
mencaci terang
mencuci serapah dari berang
mencuri aroma kebisingan
mencoba cerna, namun gagal
kemudian sejenak terhenti, merenung.
bertanya pada nurani,
"Dengan hasrat apa aku harus meringkuk di sini begitu lama?"
pertanyaan ini terus berteriak,
menyerbu, menyeruak bak debu
sayang, aku tak kuasa menolak muak
aku harus memagut senyap
- tangisnya larut begitu dalam
berharap tangannya merengkuh,
menopang beban
berat sebelah:
terseok-seok
terlunta-lunta
pincang dan compang-camping
di sepanjang koridor hati

Maret 2022

BERHENTI ATAU TERUS II

Teruntuk puisi dan imajinasiku:

Ingatlah, pekarangan kita telah keruh oleh pasrah. Hasrat-hasrat itu kini digerogoti lumpuh; meranggas dan berguguran akibat terlalu tandus.

Kita telah menjelma reyot yang bisu, bukan? Setelah terpaan bertubi-tubi dari si Hema, apakah kita tetap kukuh akan kokoh? Kurasa tidak.

Kita yang porak-poranda dan babak belur, masih ngeyel mengais nyala  di antara cekikan redup. Meski naas ia tak memberi mufakat.

Aku yang meradang ronta sekian tahun lamanya, terus keras paksa agar tetap abadi dalam tumbuh kembangmu, walau aku ialah debu dan tanah, kelak.

Jangan takut tak kembali utuh dan tumbuh kala aku telah vakum membesarkanmu. Dengan sisa waktu ini, tubuhku adalah jaminannya.
Aku belum padam!
Aku masih nyala!

Malang, Mei 2022

LIKA-LIKU SENANDIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang