Kesy begitu tergesa memasuki kamar Kiki, kakinya yang jenjang membuat langkahnya berirama dengan cepat. Saat sampai di depan pintu yang terbuka, dia tercengang dengan perubahan kamar milik sahabatnya. Sudah hampir satu tahun dia tidak berkunjung karena kesibukannya dengan dunia tarik suara. Seingatnya, kamar Kiki cerah dengan nuansa krem. Kini, kamar kiki yang penuh hitam putih membuat bulu kuduknya bergedik. Kesy merasa seperti memasuki kamar hantu.“Untungnya kamu tidak menggunakan warna hitam seluruhnya,” selorohnya sambil memasuki kamar Kiki.
“Hitam tidak terlalu buruk, Ke.” Kiki meletakkan dua gelas di meja belajar dan langsung duduk di kursi. Di hadapannya terlihat satu kaktus dengan bunga yang sedang tersenyum. Kaktus jenis astrophytum ini memiliki bentuk tubuh seperti bintang dan warna bunga secerah matahari, yaitu putih kekuningan.
Tidak salah kamu memberinya kepadaku, Mono. Aku sangat berterima kasih, kata Kiki dalam hatinya.
Kesy menghampiri dan menyentuh kaktus itu.
“Hanya bunga ini yang paling bersinar di antara penghuni kamarmu yang lain.”“That’s right.”
“Bisa kamu jelasin semua ini, Ki?” Kesy mengembalikan kaktus ke tempatnya berasal. Matanya menatap Kiki yang tak bergeming.
“Apa? Tidak ada yang perlu dijelasin. Minum dulu jusmu, Ke.”
“Harusnya banyak, Ki. Rambutmu, kamarmu, dan bahkan sikapmu. Semuanya berubah.” Kiki hanya diam. “Dua tahun ternyata tidak cukup untuk mengenalmu. Apa aku keliru mengenalmu?”
“Tidak, Kesy. Kamu tahu aku, kamu mengenalku dengan baik. Karena itu aku menyukaimu, dan kita bersahabat sampai sekarang." Respons Kiki tak membuat Kesy puas.
“Itu benar. Aku menyukaimu bukan sekadar genius dan ambisius, tapi kamu misterious, dan aku sangat penasaran bagaimana kamu bisa hidup dengan sikap seperti itu.”
Kiki tertawa, “Kamu lucu, Kesy. Itu karena aku bernapas dan makan.”
“Satu tahun aku memang sangat sibuk, Ki. Mungkin itu yang membuatmu enggan bercerita. Nah, sekarang aku di sini, aku mau mendengar semua beban yang mengganggu pikiranmu. Termasuk sikapmu tadi. ”Kiki mendelik, “Apa?”
“Kamu masih belum paham ya, Ki? Bunga cantik ini tidak cocok dengan karaktermu.” Kesy menunjuk kaktus dengan telunjuknya, Kiki merasa tersinggung.
“What do you mean?”
“Mungkin kamu belum sadar, keras kepalamu menutup hati nurani, Ki.” sindir Kesy.
“Kesy, aku nggak ada waktu buat dengerin ceramahmu.”
“Oke, aku berhenti, tapi tolong jawab ini. Apa yang salah dengan Tante Rena, Ki?” tanya Kesy.
“Kamu nggak akan ngerti, Kesy,” jawab Kiki bersamaan dengan napasnya yang mengalun tenang.
“Ya, jelasinlah! Untuk apa kita bersahabat?”
Kesy semakin menyudutkan Kiki, dia tidak menyadari yang dilakukannya membuat emosi Kiki tersungut. Sementara Kiki terlihat menarik napas untuk mengontrol emosinya.
Keduanya diam sejenak. Kemudian Kesy menarik tangan Kiki untuk duduk bersamanya di kasur. Sebenarnya Kiki tak ingin, tetapi dia harus melakukannya daripada kehilangan satu-satunya sahabat.“Ke, listen to me. Aku tidak bermaksud menyembunyikan apa pun dari kamu. Aku hanya belum bisa cerita ke kamu. Saat ini aku—“
“Intinya kamu tidak mau cerita. Kamu terlalu bertele-tele, Ki.” Suara Kesy terdengar kecewa. Merasa usahanya tidak berhasil, dia beranjak dari duduknya. “Aku mau nemenin Tante Rena.”