Tubuhku meradang saat terbangun di sebuah ruangan dengan bau steril, tanganku meraba kasur busa dan selimut lembut yang membalut tubuhku. Rasa perih di lenganku menimbulkan rasa miris, menyadarkanku akan kebodohan yang aku lakukan. Samar-samar, dengan sisa kesadaran yang baru saja hinggap di tubuhku. Aku merasa badanku remuk redam, persendi, persaraf, semuanya menguarkan rasa sakit. Butuh waktu seharian untukku kembali merasakan dan beradabtasi dengan sekitarku setelah lama berpijak dan mengambang di dunia antah berantah.
Ku tajamkan indra pendengaranku, mengecap lingkungan sekitar, bunyi sedikit ramai di luar ruangan, sedikit senyap di ruang tempatku berada, suara gesekan kulit dan kain saat lenganku bergerak, dan detak jam. Tik... tok... tik... tok... tik... tok...
Infus menggantung di salah satu lenganku, pergelangan tanganku juga berbalut perban tebal, masih ada bercak darah disana. Kesadaranku pulih. Aku perhatikan ruangan itu baik-baik, lalu mulai mengurai kebodohan yang membawaku hingga disini, tapi ada yang aneh dengan diriku sendiri. Dadaku tak lagi di himpit oleh sesuatu kasat mata, malahan terasa begitu lapang dan lega saat menarik dan menghembuskan nafas. Tak ada lagi air mata, tak ada lagi drama dan tak ada lagi rasa sakit yang silih berganti menjadikan hatiku objek siksa, seakan-akan aku memiliki sudut pandang baru untuk melihat itu semua, aku menerima itu semua dengan lapang dada.
Senyum simpul terulas di wajahku. Aku menertawai kebodohanku sendiri. Terkekeh dengan kesalahan yang ku buat. Senyum simpulku langsung amblas saat Andi masuk ruangan tempatku di rawat dengan ekspresi menahan emosi yang siap untuk ia ledakan dengan sedikit sentilan. Jelas aku telah mengecewakannya, ia menyuruhku tinggal sementara di rumahnya untuk berjaga-jaga akan hal buruk terjadi padaku, tapi malah aku yang bertindak nekat di kamarnya.
“Aku minta maaf,” kataku dengan suara serak dan nada bergetar saat ia menatap sebal kepadaku, sorot matanya benar-benar menguliti batinku, “aku tahu kalau apa yang aku lakuin kemarin itu bodoh, aku juga nggak tahu kenapa aku bisa kepikiran buat bunuh diri segala, tapi sekarang aku sudah sadar Ndi. Hidup itu singkat dan aku mau jalani dengan hal-hal yang aku inginkan dan aku sukai,” timpalku penuh rasa salah.
Tapi Andi malah menyiksaku dalam keheningan selama beberapa menit sebelum akhirnya kembali menjawabku dengan ekspresi judes.
“Baguslah kalau kamu sadar, jadi ngemat tenagaku buat ngomelin kamu,” ujarnya masih dengan nada menohok.
Kuhembuskan nafas lega, ia tak akan mendiamkanku untuk waktu yang lama.
“Kamu nggak kasih kabar sama orang tuakukan Ndi?” tanyaku hawatir, berjaga-jaga, aku takut jika di bawa pulang paksa saat ibuku tahu keadaanku seperti ini.
“Nggak, aku nggak kasih tahu mereka. Mereka lagi di Medan, ada saudaramu yang mau nikahan disana. Kenapa emangnya? Kamu mau aku ngasih kabar sama mereka kalau kamu sekarang di rumah sakit gara-gara over dosis terus gagal bunuh diri? Peristiwa ini buat ayahmu bangga atau kamu yang bangga? Atau jangan-jangan kamu bahagia karena surga sama neraka sama-sama nggak mau nerima kamu?” jelas Andi sengak, aku tahu jika dia masih memendam emosi karena kebodohanku ini, tapi aku sadar, jika dia berhak melakukan hal itu.
“Ya enggak gitu juga Ndi, Bagus deh kalau mereka nggak tahu, aku nggak mau mereka kesini lihat kondisiku kaya gini,” jawabku seadanya, malas menyulut pertengkaran dengannya. Tapi, dalam hati kecilku, aku masih mengharap kehadiran salah satu keluargaku saat aku tak stabil seperti ini. Ada rasa rindu yang begitu menggebu jauh di dalam hatiku.
Ia tak menjawabku, duduk di salah satu sofa, mengambil acak majalah diatas meja dan mulai membaca untuk mengabaikanku. Aku mendengus sebal. Ia membuka salah satu bingkisan di atas meja, mengupas jeruk berukuran besar lalu melahapnya seperti aku tak hadir di sekitarnya.