44. Rembulan Untuk Bentala

1.7K 187 21
                                    


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

.

.

Sebetulnya aku bingung harus menulis apa, tapi baiklah—anggap usia kita masih setara para mahasiswa, hari ini saja.

Hai, Seokjin. Saat surat ini kamu temukan dan kamu simak dari kalimat pembuka, aku tak lagi berada di kamar maupun beranda tempat kaktus-kaktus itu berada. Ada susu cokelat hangat di sisi meja lampu karena aku tahu kamu tak berminat sarapan sepagi ini. Pantang mengantuk kendati tengah cuti. Benar kan?

Sandwich tuna asap semalam adalah makan malam terlezat yang pernah kucicipi selama tiga puluh tahun terakhir. Serius. Mungkin karena takaran mayones dalam rotinya sanggup melecut kolesterolku tiga hari ke depan, atau karena terlanjur tersihir oleh tawa kencangmu saat aku tersedak.

Empat tahun, enam bulan, dan tiga belas hari kita bertaut jari. Berdiam di atap serupa, menelaah perangai satu sama lain, sekaligus memahami eksistensi masing-masing sejak tak lagi menjadi orang asing. Kamu berada di sana, pada titik di mana aku tak mempunyai apapun untuk ditawarkan dan terkucil dari rekan-rekan yang bergelimang kemewahan.

Aku malu saat itu.

Aku malu karena kamu begitu agung dan megah, sementara kedua kakiku menolak untuk bangkit dari tanah. Kepalaku adalah sasaran lempar kertas ketika atasan kalah tender, atau langganan diperintah membelikan kopi meski uangku tak pernah diganti. Kubikelku kecil, terhimpit di ujung ruangan yang keberadaannya bagai gaib dan tak diperlukan. Tiap jam makan siang, aku memilih duduk menepi di dekat ember cuci dan mendengar petugas kebersihan yang menggibah tentang hubungan gelap para karyawan.

Ketika jatuh, tak ada yang berselera menatap atau melirikku barang sebentar saja. Namun kamu, kamu yang berjongkok di hadapanku dan menyibak rambut kusut laki-laki yang baru saja dijegal hingga bekal nasinya berserakan ke segala arah, dengan lembut mengulurkan tangan supaya aku bisa berdiri dan mengikutimu berjalan pergi.

'Kamu baik-baik saja?'

Ujaran pertama yang kamu ajukan terdengar seperti suara surga bagiku yang sunyi dari sapa manusia. Mungkin pula rohku pernah digdaya di kehidupan sebelumnya. Sebab tak sekalipun terbersit dalam benak, untuk berada sedekat itu dengan kolega direktur yang mempesona.

You taught me how to love myself, you allow me to use your existence, and you give me permission to use YOU. Kamu menunjukkanku banyak hal, memintaku agar berontak ketika relevan, dan membantuku terbebas dari segala perundungan sebelum berlalu menjemput mimpi baru.

Bersamamu aku belajar, jika cinta dan kesetiaan merupakan jalan terbaik menuju sebuah katarsis. Aku tak pernah terlalu paham—sampai hari ini, mengenai daya tarik yang kumiliki hingga malaikat sepertimu bersikukuh mendampingi. Let me be arrogant for once, barangkali entitas semesta bekerjasama merapal mantra bahagia sebab aku tak pernah tega menyakiti mereka.

Empat tahun, enam bulan, dan tiga belas hari, kamu bersabar menuntunku yang buta arah akan roda kehidupan. Aku yang seperti bayi, mekar menemukan jati diri dalam petak zamin yang kamu siram dan kamu rawat dengan seksama. Penuh kasih, seperti mawar yang akhirnya mampu melindungi diri seiring bertumbuhnya tampuk duri. Orang-orang berkata aku berubah, kian tak acuh sekaligus congkak pada rekan lama. Namun kamu hanya tertawa dan balas berkedik sekadarnya. Kemudian berbisik tatkala kita hanya berdua, bahwa sikapku yang seperti itu justru membuatmu semakin bergairah.

Kamu aneh, kamu berbeda, dan aku tak punya pilihan selain jatuh cinta.

Mungkin kamu bertanya-tanya apa sebenarnya inti dari surat yang berbelit ini. Cari perhatiankah? Iseng karena otakku tertimbun mayones? Atau permintaan maaf yang manis usai tak sengaja melahap ramyun terakhirmu sampai habis?

Baiklah, akan kucoba untuk serius.

Tanpa maksud memerintah apalagi bertitah, basuhlah wajah serta buka pintu kedua dari lemari bajumu. Ada kemeja yang kusetrika, celana warna gading, juga rompi bercorak serupa. Sepatu dan jasmu menunggu dikenakan di ujung tangga, tak perlu mematut diri karena aku yakin kamu senantiasa indah.

Tolong jangan terkejut sewaktu membuka pintu depan dan mendapati seorang lelaki tua menyilakan kakimu menapak mobilnya. Sebab kuda besi itu akan membawamu bertemu denganku yang gugup menanti, bersama wanita paruh baya yang tergelak geli ketika mendengar gagasanku, tempo hari.

'Apa yang sedang kamu rencanakan?'

Tak banyak. Beragam, mungkin. Mengadopsi anak anjing, untuk pertama-tama. Dan akan bertambah ketika kita telah resmi mengucap sumpah.

Maaf, aku bukanlah sosok romantis yang menawarkan janji seumur hidup lewat gempita kembang api maupun kembara di puncak bianglala. Mengingat kamu kerap menghindari api dan merutuk keras di ketinggian, maka ijinkan kekasihmu mengutarakan karsa pada secarik kertas, yang ditulis dengan jemari kebas serta jantung yang nyaris lepas.


Seokjin, mari menikah.


Jadikan aku muara dari perjalanan asmara yang kamu ceritakan beriring airmata dan sumpah serapah. Jadikan aku rumah di mana kamu bisa pulang untuk bergumam tentang keluh kesah, petakmu bersandar sembari menggerutu, juga teman berdiskusi mengenai perburuan novel langka Tolkien yang tak kunjung ketemu.

Kuharap kamu tak berupaya untuk lari atau membiarkanku menunggu, sebab laki-laki ini selalu risau tiap berjarak dari prianya yang gemar meracau.

.

.

.

.


Kepada Kim Seokjin, rembulan untuk bentalaku.

Aku cinta padamu.

.

.


SHENMEI | AESTHETIC (NamJin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang