13 | Masih Tanpa Kopi: Tentang Aku, Kau, dan Jarak

259 59 13
                                    

Ah, sial! Ternyata sekarang aku tengah ada di sebuah kamar rumah sakit. Jelas lah, ya. Pasti karena kejadian pingsan menyebalkan di kantor setelah mimisan tadi ... atau kemarin ... atau, oh, sudah berapa lama aku pingsan, omong-omong?

Kulirik samping kanan ranjang tempatku berbaring dan menemukan Mama tengah tertidur dengan wajah sembab di sofa.

Aku menghela napas, mencoba bangun, tetapi ternyata badan ini masih lemah. Rasanya kepalaku seperti baru saja dihantam palu secara bertubi-tubi. Aku lalu melirik ke samping kiri, ke jendela kamar yang sudah tertutup gorden. Dari suasananya, sepertinya saat ini sudah malam hari.

"Kamu udah bangun, Far?"

Kudengar suara Mama yang parau. Aku segera menatap ke arah beliau. Dengan tergesa Mama berjalan dan langsung meraih tanganku, menggenggamnya erat. Wajahnya tampak sangat khawatir.

"Berapa lama aku pingsan, Ma?" tanyaku pelan.

"Dari jam 2 siang sampai jam setengah 9 malam ini. Kamu mau minum?" Mama hendak mengambil air mineral di meja dekat ranjang saat aku segera menggeleng.

"Bisa bantu aku duduk, Ma?" pintaku.

Mama menatapku sejenak, lalu menggeleng sedih. "Kamu masih lemah, Far. Istirahat aja dulu."

Aku menghela napas lagi. "Mama sendirian? Mbak Minah enggak ikut ke sini?"

Mama kemudian duduk di kursi dekat ranjang. "Baru aja pulang. Ya mungkin jam 8 tadi, setelah bantu-bantu antar barang-barang kamu dan Mama ke sini."

"Mama mau tidur sini?"

"Kalau enggak, siapa lagi yang bakal jagain kamu, Far?" Mama menatapku sedih. Iya, ya. Aku kan tak punya siapa pun selain Mama.

"Hp kamu kenapa? Kok hancur gitu?" Mama meraih teh hangat di dekat air mineral, menawarkan padaku.

Aku menggeleng, lalu menunjuk susu cokelat botolan di samping buah-buahan di atas meja. Mama dengan sigap mengembalikan teh dan menggantinya dengan minuman yang kuinginkan tersebut lengkap dengan sedotannya.

"Kamu ada masalah?" tanya Mama lagi, sambil menatapku yang mulai meminum susu sambil masih berbaring.

Aku tak segera menjawab. Mama lalu menghela napas dalam-dalam. Ya, tanpa kuberi tahu pun, Mama pasti bisa menerka, bahwa aku jatuh sakit pasti karena manifestasi kondisi fisik yang buruk, ditambah kondisi psikis yang sedang down.

"Apa Haris lagi?"

Pertanyaan Mama membuatku berhenti meminum susu. Melihat ekspresi wajahku yang kaget, Mama langsung mendengkus kesal. Jelas Mama pasti tahu bahwa tebakannya benar.

"Hp kamu rusak, mending sekalian ganti nomor aja. Kalau dia masih maksa hubungi kamu, Mama bakalan minta Galih buat--"

"Udah, enggak usah, Ma. Biar aku selesaikan sendiri--"

"Tapi, Far--"

"Ma," selaku cepat. "Mama percaya kalau aku perempuan tangguh, kan? Masalah sepele kaya Haris pasti bisa kuselesaikan dengan gampang." Aku lalu memaksakan diri tersenyum dan menyerahkan botol bekas susu pada Mama, minta tolong untuk membuangkan benda tersebut.

"Dulu juga gitu. Aku terlalu terbawa emosi dan tanpa bukti kuat, mengesampingkan kalau keluarganya itu bakal ngelakuin berbagai cara kotor demi nama baik mereka tetap terjaga, akhirnya laporan KDRT-ku menguap gitu aja. Padahal, Galih udah sampai berdarah-darah berusaha bantu. Aku jadi enggak enak sama dia, apalagi pas itu Mira lagi hamil muda."

Aku lalu meraih tangan Mama, menggenggamnya erat. "Percaya sama aku, Ma. Apa pun yang lelaki enggak tahu malu itu bakal lakukan, enggak akan bikin aku gila lagi kaya dulu. Aku pasti bakal selesaiin semuanya dengan baik."

Kau dan Kopi di Senja Hari [Republish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang