"Bulan depan?"
Aku dan Rakha sama-sama kaget mendengar rencana Tante Lily. Ya, aku tahu memang, ending dari drama kami adalah menikah. Tapi nggak bulan depan juga, kan?
"Iya, bukannya kata kalian lebih cepat lebih baik. Mama, Papa sama Ibu juga udah sepakat nikahin kalian bulan depan. Jadi nanti kalau Nia harus pulang malem atau nginep di RS bisa ditemenin sama Rakha juga."
"Tapi, Ma. Apa nggak terlalu mepet? Persiapan nikah 'kan nggak bisa buru-buru."
Kali ini aku sepakat dengan Rakha, lagipula pikiranku masih terfokus pada pengobatan Rasya. Rasanya aku tak sanggup, jika harus ditambah dengan kehadiran si muka dua full 24 jam di hidupku. Hadeeh!
"Tenang aja, kita cuma akad nikah dulu kok, Kha. Biar kalian cepet halal, jadi kita juga tenang. Lagian ... kalau kalian mau pacaran juga malah jadi pahala, kan udah halal." Tante Lily malah terkikik dan saling melirik dengan Ibu.
Gimana-gimana? Pacaran dengan si muka dua? Huh! Thank you, next! Lagipula, aku sudah membunuh perasaan bodohku untuk Rakha sejak kejadian pengusiran di mobil malam itu. Aku sudah move on jalur ilfil lebih tepatnya.
Sekarang, hanya ada rasa hambar dan sedikit pahit jika mengingat tentang Rakha. Laki-laki bermuka dua yang licik seperti ular berbisa.
Sebenarnya ada apa dengan Rakha? Bukankah malam itu dia bertelepon mesra dengan perempuan? Kenapa nggak nikahin aja cewek itu? Kenapa harus aku? Huft! Menambah beban hidup aja!
"Nia, tadi Ibu udah minta tolong sama Rezki buat urus-urus dokumen kamu buat syarat di KUA. Nanti juga Ibu Lily mau ajak kamu cari seserahan."
"Ha?" Kali ini aku menganga.
Jujur, aku tak berharap jika adu aktingku dengan Rakha akan diresmikan secepat itu. Paling tidak, aku masih bisa mengelur waktu sampai pengobatan Rasya membuahkan hasil. Tapi, sepertinya semuanya cuma mimpi.
"Rakha, weekend ini kamu juga anterin Nia cari cincin kawin ya, sekalian kamu ajak Nia ke apartemen kamu. Biar dia bisa lihat-lihat dulu. Kan nanti kalian tinggal di sana."
Lagi-lagi, Tante Lily mengatur. Kini aku bisa melihat wajah Rakha yang berubah menjadi entah. Apa mungkin ini yang dialami Rakha setiap hari? Selalu diatur orang tua dalam segala hal, bahkan untuk urusan pribadi mencari pasangan sekalipun?
Kasihan. Terlahir menjadi anak tunggal di keluarga kaya ternyata nggak menjamin kebahagiaan dan kebebasan hak untuk memilih.
*****
"WHAT?! Serius, Ray? Bulan depan lo mau nikah sama Pak Rakha?!" Melisa mengguncang pundakku, histeris.
"Hh, iya nih, Mel." Aku menepis genggaman tangan Melisa yang mencengkram kuat di pundak.
"Aaak! Demi apa, mimpi apa sih, lo, Ray? Bisa nikah sama orang ganteng yang lo suka! Beruntung banget lo!"
Aku hanya menggeleng menanggapi kehebohan Melisa. Tanganku kembali fokus menuang adonan ke dalam loyang.
"Ray! Kok lo nggak antusias gitu? Perasaan waktu lo diajak dinner aja udah hebohnya kek apa? Ini diajak nikah lo, Ray, nikah! Lo bakal jadi Nyonya Rakha Andromeda!"
Aku menghela napas, kemudian memasukkan loyang yang berisi adonan ke dalam oven.
"Rasanya beda, Mel. Gue udah ilfil sama Rakha. Males gue nikah sama dia. Kalau bisa dijokiin, gih lo aja yang nikah sama Rakha."
"Ya elah, nih bocah labil amat yak! Sebentar suka, sebentar ilfil, sebentar males. Awas! lo sebentar lagi malah bucin."
"No way! Gue udah janji sama diri sendiri buat nggak ngulang kebodohan yang sama suka sama orang yang licik dan bermuka dua kayak Rakha! Titik!" ucapku tegas dengan dada bergemuruh.
Emosiku sudah memuncak, akibat rentetan pasan dan juga tingkah laku Rakha yang selalu semena-mena. Kulihat Melisa mengernyit kebingungan.
"Kok lo jadi aneh gitu sih, Ray? Emang si Rakha ngapain lo, ampe lo keknya benci banget gitu? Dia ... macem-macem sama lo? Grepe-grepe lo?"
"Ih, najis! Gue tampar lah kalau dia berani grepe-grepe. Belum juga sah, enak aja maen grepe-grepe!" Aku semakin terpancing emosi.
"Udah lah, nggak usah bahas Rakha, pusing gue!"
Melisa hanya mengendikkan bahu. Maaf ya, Mel, aku belum bisa cerita banyak soal Rakha dan rencana liciknya.
"Ray, kamu masih sibuk?" Mbak Kinan tiba-tiba masuk ke dapur.
"Eh, ng-nggak sih, Mbak. Barusan masukin adonan ke oven. Habis ini mau dekor cake yang buat orderan nanti sore. Kenapa, Mbak?"
Kulihat Mbak Kinanthi manggut-manggut dan mengulum senyum.
"Oh, ya udah tinggal aja. Biar Melisa sama yang lain yang lanjutin. Sini, kamu udah ditungguin."
Mbak Kinan menarik lenganku.
"Eh, eh, ditungguin siapa, Mbak?"
"Calon suami kamu," jawab Mbak Kinan sambil tersenyum menggodaku.
"Hah? Rakha? Di sini? Sekarang?"
Mbak Kinan menjawab setiap tanyaku dengan anggukan penuh senyum.
"Eumm, Mbak, bilang aja aku masih banyak orderan gitu, sibuk nggak bisa diganggu." Sebisa mungkin aku menghindari si ular berbisa itu.
"Nggak ada orderan buat kamu. Hari ini aku izinin kamu pulang cepet. Udah sana, calon suami udah nungguin."
"Tapi, Mbak--"
Mbak Kinan mendorongku hingga aku bertabrakan dengan Rakha yang juga sedang berbalik.
"Aw!" Jidatku bertabrakan dengan dada Rakha.
"Sayang, kamu nggak apa-apa? Maaf aku nggak lihat."
Huh! Dasar si muka dua! Langsung gercep aja aktingnya. Tapi kali ini aku tidak sedang berakting, jidatku lumayan nyeri sampai buat aku meringis. Rakha masih menunduk memeriksa keningku.
"Uhuk! Uhuk!" Suara Mbak Kinan menyelamatkanku dari aroma parfum Rakha yang menggangu otakku! Fokus, Nia, fokus!
"Eh, Mbak, aku pinjem dulu ya, Nianya. Soalnya Mama udah nungguin di butik."
"Iya, ambil aja, feel free. Kalau Ray mau cuti sebulan sampai kalian beres bulan madu juga nggak apa-apa." Mbak Kinan terkikik. Aku hanya mencebik, mengabaikan Rakha yang melirik.
"Oke, kita pamit dulu, Mbak."
"Iya, hati-hati Mas Rakha, Ray. Daaah!"
Aku hanya mengangguk dan tersenyum pada Mbak Kinan.
Huft! Padahal, bisa kabur dari pekerjaan yang menumpuk adalah salah satu whistlist-ku, tapi nggak harus sama Rakha juga kali!
"Pakai sabuknya. Mama udah nelpon mulu dari tadi. Aku sampai harus batalin meeting, cuma demi nganterin kamu doang. Jadi nggak usah buat ulah apapun hari ini!"
Aku memasang sabuk dengan malas. Rakha mulai menjalankan mobil sedannya.
"Suruh siapa harus di hari kerja begini? Kenapa nggak pas pulang atau weekend aja!" protesku.
"Kamu!" Rakha memelotot. Bodo amat!
"Lagian kenapa sih, kamu ngotot banget harus nikah sama aku? Harus repot bayarin pengobatan Rasya? Kenapa kamu nggak nikah aja sama Baby kamu itu! Kenapa harus ngorbanin aku dan keluargaku?!" Aku tak tahan menahan uneg-uneg yang selama ini mengganjal di hati
Seketika Rakha menginjak rem mendadak.
"Aw! Ish!" Lagi-lagi jidatku yang jadi korban terbentur dashboard.
"Kamu bisa nyetir nggak, sih!" omelku.
"Kamu bisa pakai sabuk yang bener nggak, sih!"
Tiba-tiba Rakha mendekat dan membenarkan sabuk sampai berbunyi "klik".
Aku menahan napas dan memejamkan mata. Sial! Aroma itu lagi! Aku menggeleng kuat, nggak, aku nggak boleh lemah. Hatiku sudah bulat untuk tidak lagi terhipnotis oleh pesona Rakha.
"Ngapain kamu merem? Ngarep dicium?"
What?! Seketika aku membuka mata lebar-lebar dan aku pun menyesal. Sekarang jarak Rakha tinggal sejengkal. Tuhan, tolong selamatkan aku, aku terjebak!

KAMU SEDANG MEMBACA
RAINBOW CAKE ✔️
RomanceRakha dan Raynia sepakat untuk menikah demi kepentingannya masing-masing. Namun, pernikahan pura-pura yang mereka jalani nyatanya tak semudah yang mereka tulis dalam perjanjian.