Arjuna dengan celana pendeknya memilih duduk di ruang tengah, masih dengan ponsel yang menempel di telinga. Pembicaraannya bersama Dion masih berlanjut sejak sepuluh menit yang lalu. “Nggak. Lo nggak usah ke sini. Beneran.”
“Kenapa, sih? Mau ngasih ucapan doang.”
Arjuna menarik nafas. “Udah, gak usah. Lo urus aja skripsi lo, Bang. Biar cepet lulus, cari kerja, terus jajanin gue.”
“Lo mah, yaudah Adek mana? Gue mau ngomong sama dia.”
Arjuna mengedarkan pandangan. “Adeekk!!!”
“Apa?” Ardana muncul dari arah dapur, baru selesai mencuci piring. “Apa?” tanyanya lagi seraya duduk di samping Arjuna.
“Nih, Bang Dion mau ngomong.” Arjuna memberikan ponsel pada Ardana.
“Apa, Bang?” sapa Ardana tanpa basa-basi. “Mana jatah kado buat gue?”
“Gak ada. Tapi gue udah trasnfer ke rekening lo. Bagi dua sama Mas Una, ya?”
Ardana menaikkan alisnya pada Arjuna. Lalu menjauhkan ponselnya. “Mas, Bang Dion transfer buat kita, katanya.”
“Ha? Serius? Sini hapenya, mau ngomong gue,” pinta Arjuna.
“Ih, sebentar. Gue masih mau ngomong.” Lalu Ardana kembali menempelkan ponsel di telinganya. “Ini seriusan dari lo, Bang? Nggak dari Bunda?”
“Beneran dari gue, astaga. Mentang-mentang gue belum kerja. Sama satu lagi, gue ada kejutan buat lo berdua.”
“Kejutan apalagi?” tanya Ardana yang langsung mengaktifkan loud-speaker agar Arjuna juga dapat mendengarnya.
“Pak Aryasa, yang bakal jadi pemateri di proker kalian, biar gue aja yang ngajuin proposalnya, kalian gak usah ke sini. Jauh soalnya..”
Arjuna dan Ardana saling pandang lalu sama-sama ber-wow pelan.
“Mana dong makasihnya?”
“Bang Dion, makasih banyak! Lo baik banget! Makasih juga buat transferannya. Gue mau kok jadi adek lo kalau gini caranya.” Ardana tertawa.
“Hahaha. Sialan, giliran gini baru mau jadi adek gue.” Terdengar suara tawa dari Dion. “Mas Una? Gak mau makasih ke gue?”
Arjuna mendekat pada ponsel. “Makasih, Bang! Gue doian deh biar skripsi lo lancar. Titip salam buat Bunda ya, Bang.”
“Siap! Makasih, makasih buat doanya. Gue tunggu proposalnya, ya. Kirim aja ke gue, nanti gue yang menyampaikan ke Pak Aryasa. Sehat-sehat lo berdua di sana! Gue tutup, ya?”
Setelah sambungan telepon terputus, Arjuna segera membuka laptopnya, lalu memanggil Mahen dan Qistiya.
“Proposal buat acara workshop udah beres, kan? Gak ada perubahan lagi?” tanya Arjuna.
“Udah, kok. Waktu itu kan udah lo periksa, Jun. Mau berangkat kapan?” tanya Qistiya.
“Enggak, enggak. Jadi, kita gak usah ke sana, Bang Dion mau bantu kita buat jadi perantara, kita diminta kirim proposalnya aja.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Mel(ingkar) ✔
Подростковая литератураIni kisah tentang sepuluh orang yang mempunyai kebiasaan duduk melingkar, memecahkan berbagai masalah, dan menabung kenangan masa muda. Berikrar akan selalu berteman selamanya dan berharap tidak ada satu kata yang mampu mengubah lingkaran itu hanya...