8. 𝐓𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝒔𝒆𝒎𝒖𝒂

66 24 255
                                    

|
|
|
|
|
♥︎
|
|
|
|
|
♡︎
|
|
|
|
|
♥︎
|
|
|
|
|
♡︎
|
|
|
|
|
꧁ 𝑹𝒆𝒕𝒊𝒔𝒍𝒂𝒚𝒂 ꧂
















×÷×

Tentang manusia yang takut kepada manusia, takut akan sekitar, takut akan takdir, dan takut akan dirinya sendiri.

Berkelana kesana kemari, mencari sesuatu, siapapun, atau apapun yang sekiranya bisa memahami dirinya, lantas ketika tak mendapat apapun diri ini kembali terjatuh dan berbalik ke belakang.

Angan-angan yang melayang tinggi kini melayang semakin tinggi, bukan karena asa yang kian bertambah, namun karena asa yang hilang dan semunya melayang untuk pergi, bukan untuk menghampiri.

Keinginan sederahan yang cukup rumit dan sulit untuk terkabul, hilangnya harapan terkadang karena keinginan sederhana yang tak terpenuhi.

Lagi, diri ini semakin melangkah mundur. Membiarkan semua yang di depan sana untuk usai tanpa di coba, tanpa di lihat, dan tanpa di rasakan.

Terlihat seperti menyerah sebelum melalui rintangan, namun nyatanya menyerah karena telah melalui banyak rintangan yang tak di pahami oleh orang lain.

Membenci, mencaci, menjauhi, kemudian menyerah.

Setiap kali kaki ini melangkah maju entah mengapa tiba-tiba saja terasa sangat menyakitkan, yang tadinya kokoh berubah menjadi rapuh, sulit untuk melangkah maju namun sulit juga untuk berbalik ke belakang. Lantas hanya diam di tempat, di temani kehampaan dan penyesalan.

Malam ini, Hanna terduduk di dekat jendela ditemani kesunyian dan kehampaan, membiarkan otaknya terus berpikir tanpa istirahat, membiarkan otaknya kembali overthinking, membiarkan kembali dirinya yang terhantam habis oleh penderitaan yang ada.

Sulit untuk bangkit, sulit untuk menerima, dan semakin sulit untuk maju. Lalu Hanna membiarkan semuanya berjalan dengan semestinya, walaupun ia tahu betul. Takdirnya terus menyeret ia kedalam lubang hitam yang kelam.

Bukannya sabar, hanya saja ia terlalu muak untuk bertindak, dan membiarkan semuanya semakin kusut dan rumit.

"Gue cape...." ucapnya dengan nada rendah, sorot matanya menyiratkan kehampaan dan rasa sakit, ia semakin terdiam, dan semakin merasakan kehampaan dan rasa sakit itu.

"Gue nyerah...." lagi, ia bergumam tanpa ekspresi dengan nada suara yang lebih rendah, terdengar menyeramkan seolah tengah menyanyikan senandung duka cita.

Ia masih terdiam, menatap hampa hamparan langit yang gelap tanpa adanya bintang atau bulan di atas sana. Membiarkan dirinya kembali terhanyut dalam penderitaan.

Darah yang mengalir dari kedua tangannya ia biarkan begitu saja, bukan karena ia yang menyakiti dirinya lagi, namun luka itu entah mengapa kembali terbuka sendiri, dan mengeluarkan banyak darah.

Seolah tahu, bahwa sesakit-sakitnya hati tak akan pernah berdarah, kini terwakili dengan luka yang tiba-tiba kembali terbuka dan mengeluarkan banyak cairan merah kental di dalamnya.

Setidaknya, ada rasa sakit yang sangat nyata ia rasakan, rasa sakit yang terlihat sangat jelas, bukan rasa sakit yang terlihat fana karena tak berdarah.

Retislaya || 𝐇𝐞𝐧𝐝𝐞𝐫𝐲 𝐖𝐚𝐲𝐕Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang