6. Tentang Lisa

3 2 0
                                    


“Ki, Mama mau ngomong sama kamu.” Ucapan Rena menghentikan keheningan di meja makan. Makan malam kali ini hanya berdua, Hendra masih berada di luar kota untuk urusan pekerjaan. Rena merasa ini waktu yang tepat untuk bicara dengan anaknya. Sejak tiga tahun lalu, hubungannya dengan Kiki semakin renggang. Dia ingin mengakui kesalahannya dan berharap Kiki tidak lagi membencinya.

“Jangan sekarang, Ma,” jawab Kiki sambil memainkan sendok di atas piring. Dia ragu memilih brokoli atau daun sawi yang akan dimakan terlebih dahulu. Sebenarnya, Kiki tak bisa memahami apa keinginannya.

“Mau sampai kapan kamu membenci Mama?”

Kiki meletakkan sendok makannya hingga terdengar dentingan yang cukup keras.  “Sampai Lisa kembali ke rumah ini.”

“Lisa? Jadi karena Lisa sikapmu seperti ini kepada Mama?”

“Lisa nggak salah, Ma. Dia anak Mama, masih saudariku. Sejak dia pergi aku merasa kesepian.” Kiki menyadari dirinya mengatakan kata kesepian dengan berulang.

Rena menatap mata anaknya, dari dulu alasan ini yang membuat Rena merasa bersalah. Dia membawa Lisa dari panti asuhan karena kehendak dari suaminya. Hendra menyarankan membawa Lisa untuk diangkat menjadi anak dan menemani Kiki. Karena mengganggap itu hal yang baik, Rena menerima saran dari suaminya. Namun, seiring anak itu tumbuh, Kiki semakin jauh dari kepribadian yang baik. Rena menyadari Lisa membawa pengaruh buruk terhadap anaknya. Terlebih, saat dia mengetahui siapa Lisa sebenarnya.    

“Mama tidak bisa mengembalikan Lisa ke rumah ini, dia sudah tinggal bersama kedua orang tuanya, Nak.” Lidah Rena terasa kelu, langit-langit seakan runtuh menimbun pundaknya. Dalam bayangan, Rena memerosot dan menepuk-nepuk dada kirinya, dengan begitu dia berharap rasa sakitnya berkurang. Air mata terus mengalir tanpa henti. Kiki menghampiri dan merengkuhnya dalam pelukan. Namun, itu tak terjadi. Saat ini, dia ingin memeluk dan menangis di atas pundak anaknya. Dia ingin berbagi perasaan dengan anaknya, tapi enggan karena Rena tidak ingin Kiki bersedih. Yang harus dilakukan Rena hanya bertahan sampai Kiki tidak membencinya lagi.

“Mama, tolong jangan bohong lagi. Dua tahun lalu Mama mengatakan hal yang sama, sekarang lagi?” kiki merasa kecewa mendengar sang mama yang terus mengarang. Justru, hal ini membuat Kiki semakin ragu dengan Rena.

“Kali ini Mama tidak bohong, Kiki. Lisa sudah bertemu dan tinggal bersama orang tuanya.” Suara Rena terdengar berat, ada rasa sakit saat mengucapkannya. Kiki tak menyadari itu karena diameter meja yang besar. Dia hanya melihat sorot mata mamanya yang sendu. 

“Di mana?”

“Australia.”

“Aku nggak bisa memercayai Mama.”

“Nak, kamu bisa bertanya langsung kepadanya.” Rena menggenggam tangan Kiki. “Mama mohon jangan membenci Mama lagi, Mama sungguh minta maaf.”

Kiki melepaskan genggaman itu, dia memilih beranjak tanpa menghabiskan makan malamnya. Rena ingin mengejarnya, tetapi Kiki pasti tidak ingin melihatnya.

Saat sampai di kamar, Kiki mencari ponsel dan mengetik pesan untuk Monokrom.

Ini alasanmu jarang menghubungiku? Kuota internasional sangat mahal, ya? Rasanya aku seperti dikhianati bertahun-tahun, Lisa.

Kiki segera mengirim pesan itu. Kembali dia menatap Kaktus dan mengingat saat Lisa memberikannya.

“Ki, ini ambillah.” Lisa memberikan tanaman berbentuk bintang tanpa bunga kepada Kiki.

“Kaktus?” Kiki menerima kaktus itu dengan pikiran yang penuh tanda tanya. “Untuk apa kaktus?”

“Aku dengar kaktus melambangkan kekuatan. Dia punya daya bertahan hidup yang kuat. Walaupun berduri, kaktus tetap istimewa dan percaya diri, banyak yang menyukainya. Aku sengaja memilih kaktus jenis ini agar kamu sadar akan kecantikan yang kamu miliki. Pastikan dia hidup sampai berbunga. Saat bunga itu mekar, aku harap kamu bersinar. Kaktus ini mirip kamu, Kiki.”

Kiki merebahkan tubuhnya, dia memandang langit-langit dengan pikiran kalut. Berbagai pertanyaan terus mengisi ruang lobus frontal. “Usiamu masih terlalu dini, tapi kamu tahu caranya berkata positif. Kenapa Mama harus mengusirmu, padahal aku dan kamu bukan anak nakal. Kamu juga tahu ini, aku hanya bolos sekali, nilaku memerosot di satu mata pelajaran, itu pun hanya tugas harian, kenapa Mama begitu marah? Sungguh, aku tak bisa menerima alasan Mama.” Kiki menjeda keluh kesahnya. “Sekarang aku harus bagaimana, Lisa? Hatiku ingin memaafkan Mama, tapi aku tidak bisa melupakan cara Mama mengusirmu.”

Di balik pintu, Rena mendengar anaknya. Hatinya terkoyak, air mata terus merembes, semua kesakitan berpusat pada hati. Sembilu tak henti-henti menusuk jantungnya, kesakitan dan sembilu itu bukan berasal dari Kiki atau Lisa. Kedua anak malang itu memang tidak bersalah, Rena hanya belum bisa menerima kenyataan pahit yang menimpa hidupnya. Rena tak sanggup bernapas. Dia membuka pintu dan berlari merengkuh anaknya.

Kiki terkejut saat pintunya didorong oleh seseorang, dia bangkit dari pikirannya dan menganga saat merasakan kedatangan Rena yang tiba-tiba memeluknya. Kiki mendengar mamanya sesenggukan, pundaknya basah, pelukan itu sangat erat. Memang, sudah tiga tahun ini Rena tak pernah memeluknya.
Kiki berusaha mendorong tubuh Rena, tetapi Rena menolaknya.

“Tolong, biarin Mama untuk saat ini.”
“Ma, aku hanya bolos sekali dan—“

“Iya, Mama merasa bersalah karena membentakmu saat itu.” Rena menarik napas sejenak. “Mama salah membiarkan anak itu masuk dalam kehidupanmu, dia sudah membuat hidupmu hancur.”

Kalimat terakhir yang dilontarkan membuat Kiki geram terhadap mamanya. Dia tidak habis pikir dengan pikiran Rena yang terus saja menyalahkan Lisa. “Aku nggak ngerti, Ma, kenapa Mama terus menerus menyalahkan Lisa. Yang aku tahu Mama salah karena mengusirnya. Itu yang membuat hidupku hancur, aku sangat kesepian.”

Rena melepaskan tubuh anaknya dan mengusap sisa-sia air mata. “Mama hanya tidak ingin kamu hancur, Ki. Tolong mengerti, dan maafkan Mama.”

Kiki tak bergerak, bahkan matanya tak berkedip. Dia tak pernah melihat Rena sesedih ini, air muka Rena begitu pedih, ada hati yang tersayat di sana, dan sorot matanya menyiratkan kejujuran. Kiki tak berani menatap mata itu. Dia memalingkan pandangannya ke arah kaktus.

“Mulai sekarang, Mama akan selalu ada di sampingmu, Ki. Mama nggak bisa melihatmu terus membenci Mama. Kita lupakan Lisa, dan hidup bahagia. Kita lakukan itu bersama agar kita bisa melewati masa sulit ini, Nak.”

Kiki tak menjawab.

Rena menangkup pipi Kiki, dan membelainya. “Sampai kapan kamu seperti ini, Kiki? Mama sudah bersabar selama tiga tahun, dan Mama tidak sanggup kalau harus menunggu tiga tahun lagi. Mama tidak tahu kapan …” Rena tampak berpikir, “Kita hanya tidak boleh membuang waktu berharga kita sementara kita tahu waktu bisa saja berakhir dengan tiba-tiba.”

Kiki kembali memandang mamanya, dia menyadari ucapan Rena benar. Namun, Kiki masih ragu. “Aku tidak tahu, Ma. Aku sudah mencoba menyibukkan diri dengan belajar, tapi itu tidak berhasil. Aku terlalu bahagia bersama Lisa. Apa Mama tidak bisa mengembalikan Lisa ke rumah ini?”

“Mama akan berusaha, Nak. Asal kamu mau memaafkan Mama, ya,” jawab Rena dengan ragu.

“Tidak sebelum Lisa kembali.”

***

Epiphany Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang