14 - What's Wrong?

184 20 6
                                    


Selamat membaca.
Jangan lupa tekan bintangnya. ⭐

.

"Hai, Sayang!"

Ibu menyapa riang sembari merentangkan tangan begitu kaki gue menjejak ruang tengah kediaman keluarga Adhyaksa. Gue masuk dalam pelukannya, membalas sapaan itu dengan tak kalah senang juga.

"Di jalan nggak macet, 'kan?" tanya Ibu, sambil melepas pelukan. Diganti dengan merangkulkan lengannya di bahu gue dan menuntun langkah untuk mengikutinya.

"Ya ... lumayan, Bu." balas gue.

Ibu masih mempertahankan senyumnya yang meneduhkan itu. Ia makin merapatkan tubuh kami. Ah, rasanya membahagiakan. Mama enggak pernah sehangat Ibu. Mungkin pernah sesekali. Hanya ketika gue diperlihatkan di depan teman-temannya.

"Yang anak ibu itu Adhy. Kenapa yang disambut cuma Adhis?" Dari belakang gue, cowok yang sedang melepas jaket parkanya itu bersuara.

Wanita yang malam ini tampak elegan dalam balutan dress sederhana itu menoleh, menepuk bahu Rinaldy dengan pelan sembari terkekeh kecil menanggapi putra bungsunya yang menyuarakan kecemburuan.

Cowok itu langsung melenggang lebih dulu, menaiki anak tangga. Sementara gue mengikuti langkah ibu sampai ke meja makan yang sudah tertata berbagai hidangan. Ada Ayah dan Bang Satya juga di sana.

"Long time no see, Adik Kecil. Sibuk banget, ya, sampai nggak sempet ketemu lo waktu gue ke tempat kalian." Bang Satya menyapa, tapi kalimat terakhirnya seperti menunjukkan kesan kurang enak.

Gue memaksakan senyum. "Sori, Bang. Emang lagi padat kerja kelompok di tempat temen," dalih gue. Enggak mungkin gue bilang ke tempat cowok gue di depan Ibu dan Ayah.

"Adhis kalau lagi senggang, sering-sering ke sini, ya." Ibu menyahut seraya menarik kursi di samping putra sulungnya yang di dekat Ayah. Sementara gue mengambil duduk di seberang Ibu. Kursi samping kiri gue yang dekat Ayah biar diisi Rinaldy nanti.

"Iya, Bu," jawab gue sekenanya.

"Ngapain? Males banget kalau ada Bang Satya di rumah."

Enggak perlu menebak siapa yang bersuara, sosoknya yang kini berganti sweater abu-abu sudah langsung menarik kursi di samping gue.

Nice! Dia mewakili isi hati gue. Males banget sama Bang Satya.

"Ah, kalau lagi butuh duit juga lo nyariin gue," balas Bang Satya.

Rinaldy hanya berdecak saja menanggapinya. Namun, Bang Satya masih mengoceh hal lain untuk menyerang adiknya. Seperti mengungkit jasanya sebagai seorang abang yang selalu direpotkan saat adiknya beranjak remaja. Mulai dari andilnya saat sang adik belajar mengendarai motor, menyetir mobil, menyiapkan berkas untuk masuk universitas, dan hal enggak penting lainnya.

"Dan jangan lupa, siapa yang bolak-balik datang ke sekolah lo buat penuhin panggilan guru BK? Siapa yang datang buat nebus lo yang kena tahan polisi? Siapa lagi kalau bukan abang lo yang ganteng ini? Siapa? Ada?"

"Satya!"

Bang Satya baru mau berhenti menyerang Rinaldy saat suara Ibu menginterupsi. Sementara Ayah sedari tadi sudah mulai menyantap makan malamnya, tampak tak acuh dengan keributan dua putranya. Gue yang diam saja mendengarkan ocehan lelaki yang menyebut dirinya abang ganteng itu, seperti diberi spoiler tentang masa remaja Rinaldy yang kayaknya bandel dan troublemaker. Namun, gue juga merasa aneh dengan kalimat terakhir Bang Satya yang diucapkannya seraya melirik sinis pada Ayah.

"Iya, makasih banyak."

Cowok di samping gue hanya mengucapkan itu sebagai balasannya pada sang kakak. Terdengar tidak tulus memang, tetapi enggak ada yang tahu jika dalam hatinya dia benar-benar berterima kasih.

The Freaky WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang