Chapter 9

1.2K 124 3
                                    

Kasih semangat sama aku yuk, klik bintang aja gak susah kok^^

⚠️☠️⚠️

Masih ada sisa waktu dan itu dimanfaatkan oleh Justin untuk berkeliling villa Ray sebelum ia berangkat ke sekolah sebagai seorang guru baru di sana.

Villa besar milik Ray pribadi yang ukurannya hampir setengah hektar, lengkap dengan kolam renang di atapnya. Hanya saja sangat terbengkalai karena sudah bertahun-tahun tidak Ray urus. Air kolamnya yang menghijau penuh lumut—dedaunan memenuhi seisi kolam—sampah berserakan di sekitar kolamnya juga. Tentu saja karena Ray sibuk dengan hobinya, yaitu; merenggut nyawa-nyawa manusia yang sudah masuk dalam targetnya.

"Sial! Banyak sekali ruangannya!" Justin mendengus saat hendak memasuki semua ruangan satu persatu. Dari mulai di bagian depan, bekalang, sampai bangunan tak terpakai di samping villa Ray. Seperti tidak ada habisnya karena memang saking besarnya villa ini, jadi banyak sekali ruangan kosong terbengkalai. Ada satu ruangan yang terkunci. Ruangan itu adalah kamar milik Ray. Kamar yang sangat Ray jaga dan sayangi sekali. Setiap hari selalu rajin ia bersih dan rapihkan. Tak terlewat satu kali pun.

Justin pergi dari depan kamar Ray karena tidak tau bagaimana cara membukanya. Kuncinya dia tidak ada. Tidak mungkin dia mendobraknya karena pasti Ray akan murka. Sambil melipir pergi, ia juga terus-menerus menutup hidungnya. Bau bangkai yang menguar dari dua belas kamar utama, sangatlah menyengat. Sejujurnya Justin tidak tahan dan setiap kali mencium bau itu pasti serasa mau muntah. Hanya saja ia tahan karena itu adalah koleksi milik Ray. Juga dia tidak akan tahan jika harus membersihkannya sendiri.

"Tempat ini perlu banyak renovasi!" Justin menghela nafas panjang dan berjalan masuk ke mobil. Tinggal lima menit lagi sampai jam masuk sekolah dan Justin saat ini masih berada di rumah. Kalau dia tidak cepat-cepat berangkat, bisa-bisa gerbang keburu tutup sebelum dia sampai.

Di perjalanan yang hening tanpa adanya suara apapun—selain berisiknya para pengendara. Tidak ada radio, musik, ataupun tv yang Justin nyalakan. Hanya berbekal kesunyian yang bergeming, karena memang itulah tempat dia seharusnya. Kalau saja bukan karena kakek tua sialan yang menyuruhnya mengasuh Ray, sejujurnya dia juga malas untuk datang ke penampungan mayat ini. Tetapi pikirannya berubah setelah melihat Ray. Entah mengapa di dalam dirinya, seperti ada dorongan yang terus berbisik untuk tidak meninggalkan Ray meskipun tugasnya sudah selesai.

Drrt... Drrt!

Justin mengambil ponselnya dari saku celana dan mengangkat telpon yang masuk. Tak perlu melihat siapa yang menghubungi, dia bisa langsung menebak siapa itu. "Halo!"

"Bagaimana?" ucap orang dari seberang dengan nada lebih harap.

"Tidak ada hal mencurigakan. Seperti biasa, dia cuma berkecamuk dengan para mayat jarahannya." Justin menelepon sambil terus fokus menyetir. Sementara di seberang sana tampak kecewa dengan jawaban yang dilontarkan oleh Justin.

"Ya sudah. Terus awasi dia!" Tuk. Sambungan ditutup oleh si penelepon. Justin menghela nafas dan kembali memegang kemudi setir. Pikirannya berkecamuk bagaikan benang kusut yang sudah tidak bisa lagi dibenahkan.

Sebenarnya dia sangat bingung sekarang ini bagaimana harus bertindak. Dia harus memikirkan matang-matang sebelum memutuskan sesuatu, apalagi saat ini adalah saat-saat tergenting yang menyangkut nyawa dari banyak pihak. Jika salah sedikit saja, bisa-bisa banyak nyawa yang akan melayang. Walaupun sebenarnya itu bukan masalah bagi seorang pembunuh seperti dirinya. Hanya saja dia tidak mau membunuh dengan cuma-cuma begitu tanpa dibayar. "Rugi aku!"

Justin bisa saja memberitahu si penelepon tadi kalau Ray sedang merencanakan sesuatu—entah apa itu, yang jelas sepertinya akan berdampak pada suatu hal yang besar. Hanya saja Justin juga memikirkan posisi Ray yang hanya sendiri. Tidak ada pendukung selain dirinya. Kalau boleh dikatakan, dia benci sekali pada Ray karena sudah menghilangkan nyawa sang istri tercintanya. Tetapi setiap kali melihat Ray, bayangannya menjadi berubah seperti melihat Ray kecil dahulu yang rapuh sekali. Dia tidak tega. "Sial!!"

PSYCHOPATH || BL18+⚠Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang