16 | Kopi Susu: Semua Akan Baik-Baik Saja

228 52 9
                                    

Seketika bayangan-bayangan masa lalu saat Haris membentak, menampar, memaki, juga meneriakkan talak, kembali hadir menari-nari di benakku. Kepala ini rasanya seperti akan meledak. Sungguh, Tuhan ... aku benci lelaki itu! Apa aku berdosa jika berdoa semoga dia segera lenyap dari dunia ini, agar aku tak lagi tersiksa karena trauma yang dia goresan di masa lalu itu?

Aku menundukkan kepala sambil terus menggeretakkan gigi, melihat Haris dan Dimas yang sedang mengobrol dengan sangat serius. Beruntung mobilku agak jauh, sehingga kedua lelaki yang sepertinya sangat fokus--atau mungkin tengah bersitegang--tersebut tak memerhatikan sekitar, termasuk posisiku saat ini berada.

Rasanya sesak hebat mulai membelenggu diri ini. Apakah Haris akan membuat Dimas menjauhiku? Apakah Haris akan kembali menjadi parasit beracun, setelah aku baru saja sedikit lega dengan hadirnya Dimas? Atau apakah ... apakah ....

Sial! Aku tak tahan lagi, hendak turun dari mobil dan mendatangi keduanya untuk mencari tahu langsung apa yang tengah mereka bicarakan, tetapi tiba-tiba hati kecilku melarang keras.

Jangan, Fara! Tahan emosimu! Belum tentu mereka membicarakan kamu. Kalau gegabah dan mengedepankan emosi terlebih dulu, kamu yang akan rugi!

Aku menghela napas, ber-istighfar sebanyak mungkin, sambil terus mengawasi Haris dan Dimas yang masih serius berbincang. Aku lalu melirik ponsel di dashboard, segera kuraih dan kucari kontak Mira. Langsung kutekan tombol 'panggil' dan setelah dua kali tersambung, kudengar suara Galih menyapa di seberang sana.

"Mana Mira?" tanyaku dengan suara  bergetar.

"Mami lagi sama kembar, tadi dijemput Annisa, diajak makan steak. Hp-nya ketinggalan ini. Ada apa, Far?"

Aku menghela napas panjang, mencoba mengatur emosiku dulu, lalu menjawab, "Ini aku di dekat Veteran Dalam, tadi abis ngantar Dimas pulang, mau balik ke rumah ternyata sadar kalau jaket Dimas ketinggalan di mobil, terus aku balik lagi dan kaget. Tau enggak kamu, Lih? Di depanku sekarang ada Haris lagi ngobrol sama Dimas serius banget, dia nyamperin Dimas, si Bajingan itu!"

"Far, Fara ... tenang, Far! Istighfar yang banyak dulu." Galih berusaha menenangkan. Sementara aku, sambil terus minta ampunan Tuhan, berusaha menahan sesak yang makin menekan dada, akibat campuran emosi dan kegelisahan tak wajar yang membelenggu secara tiba-tiba.

"Belum tentu mereka bicarain kamu, bisa jadi cuma bicarain masalah keluarga atau entah apa. Jangan turun! Pokoknya kamu perhatiin aja dari jauh, sembunyi yang bener jangan sampai kelihatan mereka. Far, kamu ikuti nasehatku ini, ya!"

Aku terdiam selama beberapa saat, mengabaikan Galih yang memanggil-manggil namaku. Kemudian, aku menghela napas panjang dan akhirnya menjawab, "Oke. Makasih banyak, Lih. Aku beneran hampir hilang kendali dan nyamperin mereka. Astaghfirullah!"

"Sabar, Far. Mending sekarang kamu pulang aja, tunggu sejam dua jam gitu, lalu telepon atau WA Dimas, sampein kalau jaket dia ketinggalan. Nah, kamu ntar pancing-pancing dia dengan cara gimana gitu, sampai dia akhirnya cerita sendiri tanpa nunjukin kalau kamu udah tahu tentang pertemuannya dengan Haris dan mereka bicarain masalah apa."

Aku menggigit bibir bawah dengan penuh rasa ragu. Kulihat Haris tiba-tiba menepuk pelan lengan Dimas yang lebih jangkung darinya itu, lalu tersenyum. Senyum paling menjijikkan di seluruh dunia yang pernah kutemui. Sementara itu, Dimas mengangguk tanpa senyum. Kemudian, Haris seperti mengucapkan salam sebelum akhirnya kembali masuk mobil.

"Lih, Lih ... Haris udah pulang. Apa ntar aku langsung samperin Dimas aja, ya?"

Galih tak langsung menjawab, lalu dia menghela napas dan bersuara. "Ntar dulu, biar enggak kelihatan kalau kamu ada di sekitaran Vetdam, Far. Minimal lima belas menit setelah Dimas balik ke kosnya, baru kamu telepon pura-pura dalam perjalanan mau ngembalikan--"

Kau dan Kopi di Senja Hari [Republish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang