7 - Bukan Lagi Rahasia

129 26 0
                                    

"Astagfirullahal'adzim," pekikku seraya mengambil satu langkah mundur.

"Ah, maaf, maaf, Miss. Saya nggak ada niat bikin kaget." Si oppa, yang kini telah berdiri di sebelahku, meminta maaf karena membuatku kaget atas kedatangannya yang tak terduga.

"Ah, s-saya nggak tahu kalau Bapak mau kemari. M-maaf."

Sial. Jantungku berdegup dua kali lipat lebih kencang karena dua sebab. Pertama, karena kaget. Kedua, karena terpesona. Si oppa jauh lebih tampan kalau dilihat lebih dekat. Kulitnya bahkan lebih putih dan bersih daripada kulitku.

Astagfirullahal'adzim. Eling, Nis. Eling. Siapa tahu Diva itu calon istri si oppa atau malah istrinya.

Si oppa tersenyum. "Harusnya saya yang minta maaf ke Miss Ganis karena saya bikin Miss Ganis kaget. Saya jadi kayak stalker ya, Miss?" katanya sambil nyengir. "Saya lihat tadi Miss Ganis belok kemari makanya saya bisa langsung nemuin Miss Ganis di sini."

"O-oh, begitu." Kini aku tahu bagaimana si oppa bisa menemukanku di sini dengan cepat. Namun, dalam hati aku bertanya-tanya kenapa dia sampai mencariku kemari.

"Ng, Miss, bisa kita bicara sebentar?" tanyanya lagi.

"Soal apa?" Aku balik bertanya.

"Yuna." Dan mendadak wajahnya menunjukkan kegelisahan yang tidak kutahu apa maknanya.

"M-memangnya ada masalah apa dengan Yuna?" tanyaku tak mengerti.

Si oppa mengembuskan napas panjang. "Bisa kita duduk di kursi sebelah sana aja, Miss?" Dia menunjuk kursi yang tersedia di sepanjang koridor mal. Dia tak menungguku menjawab dan langsung melangkah menuju salah satu kursi di sana sehingga mau tak mau aku mengikuti sambil berdoa semoga saja dompet incaranku tadi belum terjual.

"Gimana Yuna kalau di sekolah, Miss?" tanya si oppa tanpa ba-bi-bu lagi.

Aku mengernyit. Pertanyaan si oppa persis sama dengan yang diajukan Diva tadi.

"Baik. Dia murid yang mudah menangkap materi, setidaknya untuk pelajaran saya, tapi memang cenderung lebih pendiam daripada teman-teman sekelasnya. Tapi sepertinya itu nggak masalah karena dia tetap bisa berteman dengan teman-temannya yang lain," paparku.

"Sifat diamnya itu bukannya tanpa alasan. Itu karena Yuna pernah di-bully."

Aku terkejut. Yuna di-bully? Tapi kenapa?

"Sebelum sekolah di Republik Ganesha, Yuna pernah sekolah di sekolah negeri. Di sanalah dia di-bully teman-temannya dengan sebutan anak haram," ungkap si oppa yang membuatku terkejut dua kali.

"Anak haram?"

"Yuna bukanlah anak kandung saya, Miss. Dia keponakan saya. Anak dari Diva, adik kandung saya."

Haruskah aku bahagia mendengar informasi ini?

"J-jadi perempuan yang tadi itu …."

Si oppa mengangguk. "Ya, dia Diva, adik saya."

Aku tidak berkata apapun, menunggunya menyelesaikan ceritanya.

"Diva melahirkan Yuna sepuluh tahun lalu di Jakarta karena kami menghindari omongan orang tentang kehamilan Diva yang terjadi di luar pernikahan. Diva masih dua puluh tahun saat itu dan dia masih kuliah di tahun kedua di sebuah universitas negeri di Semarang," tutur si oppa.

"Terus kenapa keluarga kalian nggak minta pertanggungjawaban dari orang yang menghamili Diva?"

Si oppa mendengus, tampak kesal dengan pertanyaanku. "Itu kalau dia tidak melarikan diri lebih dulu, Miss, begitu tahu Diva hamil. Kami sampai kehilangan jejaknya. Entah dia menghilang kemana. Sampai sekarang kami tidak tahu. Mungkin sudah mati atau ditelan bumi. Entahlah. Sudah nggak penting juga."

KADREDA | TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang