Sekarang Ayra dan Kak Arka pergi meninggalkan rooftop. Mereka akan mencari solusi dan memberikan pengobatan terbaik buat Arin. Kesembuhan Arin merupakan prioritas utama mereka. Kini, keluarga Arin sudah berada di rumah sakit. Perjalanan mereka sangat lancar, tanpa ada hambatan sedikit pun.
"Ayra, kamu duluan aja deh ke ruangan. Kebetulan kakak masih ada pasien yang harus diperiksa," ucap Kak Arka.
Ayra mengangguk mengizinkan Kak Arka pergi. Tanpa berpikir panjang ia melangkah yakin menuju ruangan. Iya, awalnya ia berpikir selama di Indonesia ia akan banyak bergelut dengan alat-alat medis. Namun, ternyata ia salah. Allah sedang memberinya jalan yang lain.
"Assalamualaikum, Om, Tante, Bang Ihsan," sapa Ayra kepada keluarga Arin yang sudah menunggu di depan ruangan.
"Waalaikumsalam, Ra. Kamu dari ruangan dokter kan?" tanya Bang Ihsan.
Ayra hanya mengangguk pelan membenarkan. Ia sudah diberi kekuatan oleh Kak Arka supaya kuat menerima penyakit yang diidap oleh sahabatnya. Mau tidak mau keluarga Arin dan orang yang bersangkutan harus tahu mengenai diagnosa ini. Sehingga akan lebih memudahkan untuk pengobatan lanjutan.
"Arin sakit apa, Ra?" tanya Mama Arin penasaran.
"Sebelumnya maaf, Tan. Selama ini Ayra udah berusaha menjaga Arin semaksimal mungkin. Ayra juga harus memberi tahu ini kepada keluarganya. Tadi kata dokter, Arin mengidap penyakit kanker otak stadium dua," jelas Ayra meremas jarinya.
Raut wajah keluarga Arin mendadak berubah. Mereka histeris mendengar penjelasan Ayra barusan. Bahkan mereka ingin meminta penjelasan lebih lanjut kepada dokter.
"Ayra, lo nggak papa kan?"
Satu pertanyaan itu membuat Ayra dan orang yang berada di luar ruangan sontak kaget. Itu adalah suara khas sahabatnya.
"Gue nggak papa. Lo kenapa keluar sih, Rin? Lo udah lama di sini?" tanya Ayra panik.
"Belum lama sih. Dokter bilang apa, Ra? Gue sakit apa? Kenapa keluarga gue pada histeris gini?"
Ayra menatap sorot mata keluarga Arin satu persatu. Ia juga mendapati sosok Kak Arka dengan jarak yang cukup jauh dengannya. Ia yakin, sosok itu juga ingin melihat respons dari Arin.
"Ayra. Gue sakit apa? Lo kenapa diam aja? Gue mohon, lo jujur ke gue, Ra. Please," ucap Arin memegang tangan sahabatnya.
"Maaf, Rin. Gue udah gagal menjaga lo. Ini suratnya," sahut Ayra menyuguhkan sebuah surat hasil pemeriksaan.
Arin meraih surat itu dan membukanya perlahan. Detik itu seakan jantung Ayra mendadak berhenti berdetak. Ia sama sekali tidak bermaksud untuk membuat sahabatnya sedih.
"Alhamdulillah. Lo nggak salah, Ra. Lo udah benar dan berjuang kok menjaga gue selama ini. Jadi, berhenti nyalahi diri lo sendiri," ucap Arin menutup suratnya.
Arin mendongak menatap sahabatnya. Ia memperlihatkan senyum terindah miliknya kepada Ayra.
"Gue masih bersyukur, Ra. Allah masih sayang sama gue. Buktinya ngasih gue ujian dengan penyakit. Ini masih stadium 2, Ra. Ini salah satu cara Allah untuk membantu gue meperkuat iman dan menggugurkan dosa," jawab Arin tersenyum.
Ayra memalingkan wajahnya. Ucapan Arin berhasil menyayat hatinya. Rasanya sangat sakit. Napasnya terasa begitu berat mendengar jawaban perempuan di hadapannya. Tebakannya benar, Arin adalah perempuan yang kuat. Dia tidak manja dan gampang menyerah. Bahkan sakit yang terbilang parah, masih bisa ia syukuri.
"Gue senang ngelihat lo senyum gini. Lo benar-benar perempuan yang kuat. Gue janji akan ngasih pengobatan yang terbaik. Tenang, Rin! Lo pasti sembuh. Kita berjuang sama-sama, ya."
Ayra menghembuskan napas lega. Iya, meskipun banyak kesedihan yang harus ia sembunyikan. Ia tidak boleh terlihat lemah dekat Arin. Ia harus bisa menjadi sumber semangat bagi sahabatnya.
"Udah, kita masuk ya. Nggak bagus keluar. Kondisinya belum stabil."
Ayra mendorong kursi roda dan membawa Arin kembali ke ruangan. Dia harus istirahat secara maksimal. Keluarga Arin yang awalnya super panik, kini sudah sedikit tenang setelah melihat tanggapan dari Arin sendiri.
***
Arin meminta semua orang yang berada di ruangannya untuk pulang. Tepatnya, ia tidak ingin merepotkan orang yang sedang bersamanya.
"Mama, Papa, Bang Ihsan, Ayra, kalian pulang aja dulu. Arin tahu kalian pasti capek banget. Ditambah sehari tadi dalam perjalanan," pinta Arin kepada semuanya.
"Nggak ah, abang mau di sini aja," tolak Bang Ihsan.
"Abang pulang aja. Istirahat dulu, itu mukanya udah capek," ucap Arin.
"Nanti kalau terjadi sesuatu gimana? Kamu nggak boleh banyak gerak."
"Arin bisa panggil dokter atau susternya."
"Udah, Arin benar. Tante, Om, dan Bang Ihsan perlu istirahat. Arin biar Ayra aja yang jagain. Lagian Ayra juga bisa istirahat di sini nanti. Soalnya kami emang tugasnya di rumah sakit ini. Jadi, udah disediakan semua fasilitasnya," jelas Ayra.
Setelah lama berdebat, akhirnya keluarga Arin mengalah. Mereka mengikuti permintaan Arin. Sedangkan Ayra masih yakin dengan keputusannya yang pertama. Ayra ingin menemani Arin selama di rumah sakit. Lagian, mereka memiliki tugas dan tujuan yang sama. Ayra juga akan bersama Arin selama pendidikan. Jadi, tidak ada salahnya dia memilih untuk tetap tinggal bersama perempuan itu.
"Kamu benaran nggak papa di sini, Ra?" tanya Bang Ihsan mengerutkan dahinya.
"Nggak papa kok, Bang. Ayra bisa ke ruangan lain nantinya kalau bosan di sini," sahut Ayra memperlihatkan senyumannya.
"Iya udah. Abang titip Arin ya. Nanti kalau ada apa-apa hubungi abang aja."
Ayra mengangguk paham dengan tawaran yang diberikan sepupu sahabatnya.
"Ayra, gue mau sholat isya dulu deh. Siap itu baru tidur," ucap Arin pelan.
"Ooo iya, lo belum sholat. Sini gue bantu."
Setelah semua pulang Arin mengambil wudu' dan melakukan shalat isya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lynella (COMPLETED✅)
RomansaKita tidak bisa memilih akan jatuh cinta kepada siapa. Kita tidak bisa memaksa bahwa semua impian harus terwujud. Kita juga tidak bisa berharap selalu ada untuk mereka yang tersayang. Cerita ini merupakan bagian dari perjalanan, petualangan, dan...