Happy Reading Guys ...
***
Saat Arin sedang melakukan shalat isya, ternyata Kak Arka memperhatikannya dari luar kamar. Ia fokus memperhatikan gerak-gerik pasiennya dengan sangat tenang. Selesai berdoa, Arin mengambil sebuah buku yang selalu dibawa ke manapun ia pergi. Ia menulis di buku itu mengenai keluh kesah saat ini.
Ayra sama sekali tidak menahan pergerakan sahabatnya. Ia memberikan kebebasan untuk Arin melakukan apa saja yang ia mau. Ayra juga tidak ingin tahu semua hal pribadi perempuan itu sebelum diceritakan secara langsung kepadanya.
'Wah, Arin dah tidur nih. Mending gue ke luar dulu deh,' ucap Ayra membatin.
Ia melangkah menuju pintu dan meninggalkan Arin yang sedang lelap tertidur. Ketika berada di lorong rumah sakit, Ayra mengecek ponsel di sakunya. Namun, ia tidak menemukan benda yang sedang dicarinya.
'Duh, pakai acara tinggal lagi ponsel gue,'
Ayra berbalik badan dan kembali menuju ruangan sahabatnya. Matanya membulat sempurna.
"Kak Arka? Kakak ngapain ke sini?" tanya Ayra mendekat.
Terlihat jelas Kak Arka tergesa meletakkan buku milik Arin di atas meja.
"Bukannya itu buku Arin, Kak? Kakak baca bukunya?" ucap Ayra penasaran.
"Eh, Ayra. Ng-gak. Nggak papa kok. Kakak nggak baca bukunya. Tadi pas kakak ke sini. Bukunya jatuh, jadi kakak bantu meletakkan lagi," jawab Kak Arka grogi.
Ayra menatap laki-laki di hadapannya dengan tatapan penuh selidik. Tentu saja dia curiga melihat gerak tubuh Kak Arka yang terkesan mencurigakan. Seperti ada suatu hal yang sedang ia sembunyikan. Semoga saja ia belum sempat membaca buku itu. Ayra sangat yakin kalau di dalam buku tersebut tertulis nyata dan jelas nama seorang Abdurrahman Arka Ramadhan.
"Maaf, Kak. Sekarang udah malam. Ayra rasa bukan jam dokter lagi. Soalnya Arin juga udah tidur. Kakak boleh keluar," pinta Ayra dengan sopan.
"Iya, Ra. Kakak juga udah siap kok meletakkan obat untuk Arin. Kakak udah meletakkan vitamin tambahannya di atas meja," sahut Kak Arka.
Ayra mengangguk berterima kasih untuk vitamin tambahan yang baru saja diberikan.
***
Arin berulang kali mengerjapkan kedua matanya. Ia sangat bersyukur masih diberikan kesempatan untuk beraktivitas sampai detik ini.
"Permisi. Saya mau menukar infusnya dulu, ya."
Arin tersenyum dan mengangguk. Ia mempersilakan suster untuk mendekat ke arahnya.
"Oh iya, Sus. Kenapa dokternya nggak pernah ke sini ya?" tanya Arin penasaran.
"Hm, setahu saya tadi malam dokter masuk ke ruangan ini kok, Mbak," jawab suster tersebut.
"Nggak ada, Sus. Aku nggak ketemu sama dokternya."
"Mungkin saja tadi malam kamu sudah tidur."
Arin beralih menatap Ayra. Ia seolah sedang meminta jawaban kepada sahabatnya mengenai dokter yang bertugas untuk menanganinya.
"Ooo iya, memangnya kenapa kamu mau ketemu dokter?"
"Arin bosan banget di sini. Aku mau izin untuk pulang aja," sahut Arin sembari mengerucutkan bibirnya.
"Sabar, ya. Sebentar lagi kalau kondisinya udah lebih membaik. Kamu boleh pulang kok. Saya pamit dulu," ucap perempuan berseragam serba putih di hadapan Arin.
Saat ini Arin berdiri di dekat jendela sambil melihat-lihat pemandangan dari atas. Kebetulan Ayra sudah izin untuk lanjut praktik dan belajar hari ini. Ia melihat halaman dipenuhi dengan pasien yang sedang bersantai di sana. Sampai seorang dokter datang dan mengumpulkan mereka sehingga membentuk dua barisan.
'Kayaknya gue kenal deh sama dokter itu, tapi siapa ya? Duh, dia membelakang lagi,' ujar Arin kesal.
Tiba-tiba sebuah ingatan singgah di pikirannya. Benar, ia mengenali laki-laki itu. Sangat kenal.
"Kak Arka ..."
Arin langsung menggenggam infusnya dan berlari keluar ruangan menuju lift. Sesampai di bawah Arin langsung berlari dan bergabung ke tempat ia melihat orang yang ia harapkan. Ia sangat merindukan sosok laki-laki itu. Ternyata saat ia sampai, ia tidak melihat sosok tersebut.
"Lo kenapa ada di sini, Rin?" tanya Ayra menepuk pundak sahabatnya pelan.
"Ra, gue lihat dia," ucap Arin bersemangat.
"Siapa?"
Arin memegang tangan perempuan di hadapannya dengan erat. Bola matanya terlihat begitu indah.
"Kak Arka. Gue melihat dia di sini," ucap Arin yang berhasil membuat Ayra terdiam.
Back on
Selesai Arin diperiksa dan dipindahkan ke ruang rawat inap. Kak Arka menemui Ayra dan mengajaknya keluar.
"Kak Arka kenapa manggil Ayra ke sini? Ada apa, Kak?"
Kak Arka menarik napasnya dalam. Iya, saat itu Ayra sama sekali tidak paham maksud dari laki-laki itu.
"Kakak harap kamu nggak memberi tahu Arin mengenai keberadaan Kakak yang sekarang," ucap Kak Arka memulai pembicaraan.
"Kenapa? Bukannya Arin harus tahu siapa dokter yang sedang menanganinya?" sahut Ayra bingung.
"Ada alasan tersendiri yang nggak bisa kakak jelasin ke kamu sekarang. Kakak harap kamu mau melakukannya, Ra. Iya, sudah kakak pamit dulu. Assalamu'alaikum."
"Akan Ayra usahakan, Kak. Waalaikumsalam."
Kak Arka mulai melangkah meninggalkan Ayra yang masih kebingungan.
Back Off
"Ayra ..." panggil Arin tidak mendapat jawaban dari sahabatnya.
"Ayra ..." panggil Arin untuk kedua kalinya.
"Eh iya, kenapa?" tanya Ayra tersadar dari lamunannya.
Arin mengerutkan dahinya melihat tingkah Ayra yang tidak seperti biasanya.
"Harusnya gue yang nanya. Lo kenapa diam? Gue tadi bilang kalau lihat Kak Arka di sini."
"Lo salah lihat deh kayaknya. Kebanyakan halu tentang Kak Arka sih. Jadinya sampai rumah sakit kebawa halunya," sahut Arin terkekeh.
"Gue nggak halu, Ra. Dari pada gue halu Kak Arka mending gue halu sama oppa Korea lah. Lebih seru. Selera gue juga tinggi untuk ngehalu, Ra," jawab Arin menoyor kepala sahabatnya.
Ayra ikut terkekeh mendapat pukulan dari sahabatnya. Iya, beginilah mereka. Ketika sakit sekali pun masih sempat untuk becanda.
"Iya udah, kita balik ke ruangan. Jangan kebanyakan ngehaluin Kak Arka. Nggak baik untuk kesehatan lo," ajak Ayra.
"Kesehatan otak gue? Otak gue ya jelas sehatlah ketemu dia," protes Arin melipat kedua tangannya.
"Bukan kesehatan otak, tapi kesehatan hati lo, Beb," jawab Ayra.
Ayra membimbing sahabatnya menuju ruangan. Kali ini ia sama sekali tidak menerima penolakan dari sahabatnya.
To be Continue
KAMU SEDANG MEMBACA
Lynella (COMPLETED✅)
Storie d'amoreKita tidak bisa memilih akan jatuh cinta kepada siapa. Kita tidak bisa memaksa bahwa semua impian harus terwujud. Kita juga tidak bisa berharap selalu ada untuk mereka yang tersayang. Cerita ini merupakan bagian dari perjalanan, petualangan, dan...