Aksara

7 0 0
                                    



"mau bikin perjanjian nggak? Biar aku bisa move on, dari kamu."

Akralku masih dingin, lengkung senyum itu masih coba kupertahankan.

Jangan mengabariku atau mengirim pesan kecuali, satu; aku sekarat atau dalam bahaya. Dua, keadaan mendesak. Tiga, kamu sadar ada rasa, padaku. Empat, aku atau kamu akan menikah. Katamu, "mengapa 2 lainnya dari lima tak tercentang?"

Setelah kata 'brengsek', 'menyebalkan', dan 'jauh' sudah kuberi tanda centang tanpa ragu, deskripsi tentangnya yang ia tulis sendiri. Kusisakan 'bodoh' dan 'jelek' -yang sudah jelas pasti dua itu bukan untuknya.

"karena kamu pintar." Jawabku.

Setelah dia menyutujui perjanjian itu, dia membalas setiap pesanku dengan tambahan balasan untuk setiap pesannya sendiri, menyuruhku untuk tidak membalasnya lagi termasuk untuk satu pesan

"menurutku, aku bodoh."

Dia ingat benar dua tahun lalu aku menelfonnya dengan cerita tidak jelas, dengan isak tangis yang tak karuan, dan berujung meminta saran-yang sampai sekarang belum terlaksana, maaf. "jadi aku harus move on, nggak?" kataku waktu itu, pertanyaan paling ajaib paling tetap sasaran.

Jalanan ramai, beberapa mulut mengajak berbicara, tugas-tugas menggema memanggil meminta diselesaikan, dan hati keparat ini sedikit merasa ingin istirahat. Pintu minimarket terbuka, hawa ruangan yang sudah pasti dingin, ramai manusia, dan tujuan utamaku adalah es krim cup rasa coklat. Salam perpisahan untukmu, yang tujuh tahun lalu, pukul tujuh malam, mengetuk pintu rumahku dengan hidung sedang tidak baik baik saja, jaket hitam tidak terlalu tebal, kacamata kotak yang super tebal, dan kantong kresek kecil berlogo minimarket bulan ketiga dalam tahun,

"untukmu." Es krim yang sama seperti yang kuletakkan di meja kasir, saat ini.

Dan kalimat-kalimat itu masih menggema tanpa jeda seperti tulisan dalam struk belanjaan yang tak terlalu penting dan paling buram terlihat.

"kenapa mau sama aku? Bukannya udah nggak mau."

"kapan kamu nanya terus aku bilang enggak?"

"kamu yang minta aku menjauh, kan."

Keparat. Kukira saat itu kau sepintar seperti saat membaca rumus matematika atau sangat jago sama seperti saat menebak jawaban soal olimpiade kimia. Maksudku dua tahun lalu, bukan aku menyuruhmu pergi karena tidak mau. Aku, jauh darimu. Bukan tentang permukaan horizontal yang tertempuh bisa kapan saja, tapi tentang vertikal yang aku tak tahu kapan akan terasa kita berada pada titik dan pandangan yang 'sama saja'.

"aku ingin melepaskanmu." Kataku waktu itu, yang aku ingat betul bagaimana jelasnya emosiku, keadaan dan intonasi suaraku, dan tentu saja tanpa keterikatan apa pun.

Kau, aksara yang belum terbaca setelah tujuh tahun selalu kupelajari dengan sabar dan serius. Kukira kau selalu menjadi tempat berlabuh segala airmataku, kepanikanku, segala ketidakjelasanku, lelucon-lelucon recehmu yang kutanggapi dengan kebodohanku, tahu tidak beberapa kali aku harus membuka kamus dan internet hanya untuk mencari tahu maksud pesanmu? Aku sebodoh itu, tak pernah benar mengartikanmu.

Aku kira, aku adalah wanita yang paling mencintaimu setelah keluargamu tentu saja. Nyatanya hari ini aku yakin, aku tidak mencintaimu. Setelah kupikir-pikir aku tak pernah memberimu apa-apa, dan lantas aku mengaharapkamu jatuh cinta? Lelucon konyol. Katanya cinta itu selalu memberi, bukan hanya mengharapkan, ya?

Perhatian-perhatian kecil, es krim rasa coklat, gantungan kunci doraemon, pensil beserta kotaknya yang bermotif doraemon, miniatur harimau putih, dan buku puisi yang kukira isinya cerita romatis "A Poem With Your Name" nyatanya sampai kalimat paling akhir di sampul belakang, aku paham buku itu berisikan cerita tentang patah hati, terima kasih, hadiah yang sangat cocok untukku. Benar, aku tak pernah memberimu apa-apa bahkan perhatian sekali pun, kemudian sengaja menyalahkanmu karena tak mau bercerita. Rapalan namamu dalam doa-doaku pada Tuhanku sudah kuhentikan jauh-jauh hari, dulu aku sering menyebut namamu mengharapkan kau selalu sehat dan "Tuhan, tolong sayangi dia melebihi Engkau menyayangiku." Kuulang-ulang tentu saja dengan air mata. Setelah aku tahu itu mungkin keliru, dan kau ternyata adalah lembar yang harus aku tutup jauh-jauh hari, aku mulai menghentikannya, air mata dan segala yang menyebut namamu. Sekarang harus ada yangaku tambahkan lagi, berhenti menanyakan kabarmu, menyuruhmu benar-benar pergi, dan bahkan belajar tidak mengaharapkan mata kita dapat bertemu kembali seperti terakhir kali, empat tahun lalu di pijakan bumi yang hanya berjarak puluhan sentimeter, titik paling dekat dari dua manusia yang selayaknya berhadapan saling berbicara.

Tahu bukan, kenapa kedatanganmu tak pernah bisa aku anggap biasa saja? Jadi siapa yang jatuh cinta diantara kita?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 13, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang