Robi menatap sendu pada sang istri yang sejak subuh tadi muntah-muntah. Teh hangat yang baru saja ia buat, ia letakkan di meja.
Laki-laki itu berjalan pelan menghampiri Tamara di wastafel.
“Kalau sakit nggak usah berangkat,” Ucapnya sembari memijat tengkuk istrinya.
“Aku baik-baik saja. Lagian kerjaanku banyak, nggak mungkin aku nggak berangkat.” Tekadnya membuat Robi mengangguk.
“Minum dulu.” Ia mengambil gelasnya, lengkap dengan satu butir obat anti mual untuk Tamara.
Jemari Tamara menerima gelas itu dengan bergetar, membuat benda kecil yang sejak tadi ia genggam terjatuh. Robi dengan cekatan mengambilnya, mendahului Tamara.
Laki-laki itu sedikit mematung, kala menatap benda yang ternyata sebuah testpack menunjukkan hasil strip dua. Nafasnya sontak tercekat, kemudian menatap Tamara yang tampak pucat pasi.
“Obatnya jangan diminum, kamu sedang hamil kan… aku takut justru bahayain kandungan kamu.” Robi mengambil pil yang tadi sempat ia berikan. Suaranya terdengar parau. Tamara tahu suaminya tengah menahan tangis.
“Aku minta maaf…” Tamara mendekat pada sang suami yang tengah mengusap wajahnya. Robi sadar, janin yang kini tengah Tamara kandung memang bukan darah dagingnya. Mengingat setahun belakangan, sepasang suami istri itu tidak bersentuhan sama sekali.
“Apa berat bagi kamu untuk tetap di rumah saja dan tidak pergi?” Tanyanya lemah.
“Keadaan kamu sedang tidak baik, aku takut terjadi sesuatu di jalan nanti.”
“Aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku.” Seru Tamara tidak ingin dibantah.
Robi menghela napasnya lagi. “Ini tentang Galang, kan? Bukan soal pekerjaan yang selama ini kamu jadikan alasan.” Tamara sontak bungkam.
“Aku mengandung anaknya.”
“Aku tahu, toh ini bukan pertama kali terjadi… jadi aku tidak begitu terkejut.”
“Aku tetap harus pergi.”
“Kalau kamu mau di rumah, kamu aman! Anak yang ada di perut kamu akan tumbuh baik dan sehat, dia akan menjadi adiknya Luna nanti. Tapi kalau kamu keluar, aku tidak bisa menjamin. Aku justru takut Galang memintamu untuk menggugurkannya. Kamu tahu posisi kalian tidak memungkinkan.”
“Aku tahu kita berada di pilihan yang sulit, maka kita akan segera menyelesaikannya nanti.”
“Bagaimana kalau aku meminta kamu untuk meninggalkan dia, dan hidup bersama lagi di keluarga kita ini. Ayo mengulang semuanya dan membangun rumah tangga kita lebih baik lagi.”
“Mas!”
“Tam, dari dulu aku selalu menerima apapun keputusan yang kamu buat. Bahkan dengan bermain api di belakangku saja, tidak membuat aku lantas mengutuk kalian. Aku sugguh-sungguh bersedia menerima anak itu jika kamu mau menuruti permintaanku.”
“Apa itu sulit?”
“Maaf….” Hanya itu yang bisa Tamara ucapkan.
“Baiklah, hati-hati kalau tetap ingin pergi. Jangan lupa jaga kesehatan dan jangan sampai kelelahan.”
“Aku menunggu kamu di rumah.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepaket Luka & Obatnya (Versi benar)
ChickLit[READY EBOOK 📱] LINK PEMBELIAN EBOOK BISA DM/BUKA DI PROFIL AKU, TEPATNYA DI BERANDA PERCAKAPAN YA☺️ "Ngapain di sini? Jual diri ya." Luna memejamkan matanya, berusaha meredam amarah atas tuduhan dari seseorang yang sejak bertahun-tahun perempuan...